kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.194   6,00   0,04%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

Rizal desak kesepahaman pasar bebas ASEAN direvisi


Minggu, 02 Maret 2014 / 15:15 WIB
Rizal desak kesepahaman pasar bebas ASEAN direvisi
ILUSTRASI. Ilustrasi pergerkan saham di Bursa Efek Indonesia Jakarta./pho KONTAN/Carolus Agus Waluyo/08/08/2018


Sumber: TribunNews.com | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Mantan Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli mendesak pemerintah Indonesia merenegosiasi ulang butir-butir substansi dalam ASEAN Economy Community (Masyarakat Ekonomi ASEAN/MEA). Sebabnya, tidak semua komoditas dan jasa Indonesia mampu bersaing secara bebas di pasar ASEAN. Langkah ini harus dilakukan agar bangsa dan rakyat Indonesia tidak dirugikan karena hanya menjadi pasar produk dan jasa negara-negara ASEAN.

"Beberapa sektor kita memang kuat, tapi sebagian besar lainnya justru akan terpukul bila kita mengikuti kesepakatan dalam AEC. Harusnya pejabat kita lebih teliti lagi, tidak main tandatangan secara gelondongan," kata Rizal saat berdiskusi di Asean Economy Community 2015, bertema Peran Masyarakat & Mahasiswa dalam Menghadapi AEC 2015, Bandung, Sabtu (1/3/2014).

Menurutnya, revisi skema kerja sama dalam AEC hanya bisa dilakukan, bila presiden Indonesia memiliki visi dan karakter kuat. Selain itu, presiden juga harus punya kapasitas dalam memahami dan memecahkan masalah ekonomi. Tanpa persyaratan seperti itu, Indonesia hanya akan jadi 'bulan-bulanan' negara-negara lain, termasuk di kalangan ASEAN sendiri.

"Karena sudah telanjur dan cenderung merugikan, kalau jadi presiden saya akan ubah butir-butir dalam MEA agar menguntungkan rakyat Indonesia," ujarnya.

Ia mengatakan, yang dibutuhkan negara-negara berkembang seperti Indonesia bukanlah free trade alias perdagangan bebas. Ia menyatakan, membebaskan perdagangan antara negara berkembang dan maju, sama saja membiarkan petinju seperti Ellyas Pical melawan Mike Tyson.

"Yang dibutuhkan adalah fair trade, atau perdagangan yang fair. Itulah sebabnya para pejabat harus hati-hati dalam menandatangani kesepakatan dagang dengan negara atau kawasan lain. Harus dipelajari dengan sungguh-sungguh sektor per sektor," urainya seraya menyebut, Indonesia memiliki kekuatan di sektor tekstil dan kuliner.

"Tekstil kita cukup kuat. Lihat saja disain dan warna batik kita yang semakin soft dan bervariasi. Begitu juga dengan kuliner, dari sisi rasa hampir tidak ada yang bisa menandingi. Namun khusus kuliner, memang harus diperbaiki lagi dari sisi kemasan dan penyajian," ungkapnya. (Edwin Firdaus)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×