kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.755   0,00   0,00%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Pertumbuhan ekspor Indonesia masih minim di Asean


Selasa, 28 Januari 2014 / 17:59 WIB
Pertumbuhan ekspor Indonesia masih minim di Asean
ILUSTRASI. Rizky Jason Sutanto, Operation Manager SnackVideo berbincang dengan Feby dan Dartiah Rahmah selaku konten kreator SnackVideo saat peluncuran program terbaru SnackVideo Creator Academy?di Jakarta (7/4).


Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Kurang dari dua tahun lagi waktu bagi Indonesia untuk mempersiapkan diri, menghadapi kompetisi Masyarakat Ekomomi ASEAN (MEA) 2015. Namun, sejauh ini, Indonesia terlihat masih memiliki beberapa persoalan.

Ekonom dari Universitas Padjajaran Ina Primiana mengatakan, dibanding negara-negara ASEAN lainnya, pertumbuhan ekspor Indonesia masih terbilang paling minim yaitu sebesar 54,97%. Bandingkan dengan Malaysia, Brunei, atau Filipina yang pertumbuhannya lebih dari 60%. Sementara disisi lain pertumbuhan impor Indonesia justru lebih tinggi dibandingkan ekspor.

Beda halnya dengan negara-negara lainnya yang justru pertumbuhan impornya lebih rendah dibanding ekspor. "Kalau kita lihat, dari 13 negara mitra dagang, indonesia hanya surplus dengan empat negara saja," ujar Ina, Selasa (28/1) di Jakarta.

Menurut Ina, kondisi ini disebabkan minimnya insentif ekspor. Sementara, rendahnya bea masuk impor mendorong impor.

Di Indonesia, tarif bea masuk untuk impor barang industri di bawah 4%. Bandingkan saja dengan Vietnam saja yang bea masuknya sekitar 4,5%. Jadi, dari sisi strategi perdagangan, Indonesia masih belum kuat.

Nah, Ina menyarankan agar pemerintah segera memetakan lagi industri yang akan menjadi prioritas untuk dikembangkan. Sebab, industri yang selama ini dikatakan sebagai industri prioritas sudah tidak relevan lagi. Misalnya, industri yang membutuhkan barang modal dari impor seperti mesin dan perlengkapannya.

Ekonom senior Bank Dunia, Sjamsu Raharja meyakini, kalau daya saing Indonesia memang salah satu persoalan yang harus diselesaikan. 

Menurutnya, permasalahan makro Indonesia belum menunjukan perbaikan. Ia mencontohkan, nilai tukar rupiah yang masih dalam tekanan.

Hal itu karena masalah fiskal dan moneter yang belum terselesaikan. Dibandingkan negara-negara di kawasan, pelemahan rupiah merupakan yang paling tajam sepanjang tahun 2013 lalu. Bahkan pelemahan ini diperkirakan masih berlanjut padatahun ini.

Sjamsu juga mengatakan, kebijakan fiskal dan moneter ketat masih menunjukan Indonesia belum lepas dari persoalan makro yang terjadi di tahun 2013. "BI dan pemerintah masih perlu bekerja keras di untuk mempersiapkan diri menghadapi MEA," paparnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×