Reporter: Indra Khairuman | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Penerapan pajak karbon masih memicu pro dan kontra. Meski kebijakan ini dianggap dapat meningkatkan penerimaan negara di tengah keterbasan fiskal. Namun, ada kekhawatiran bahwa pajak karbon ini akan memberikan beban tambahan bagi industri dan masyarakat.
Imaduddin Abdullah, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), menjelaskan bahwa pajak karbon dapat menjadi sumber pendapatan baru bagi negara, terutama di tengah upaya pemerintah untuk efisiensi anggaran.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa kebijakan ini berpotensi menambah beban bagi industri dan masyarakat.
“Beban tambahan pada industri dan masyarakat di periode sulit perlu dipertimbangkan,” ujar Imaduddin kepada Kontan.co.id, Selasa (25/02).
Baca Juga: Bahas Pajak Karbon, Menteri Lingkungan Hidup Bakal Segera Ketemu Menteri Keuangan
Imaduddin juga menekankan adanya risiko ketimpangan yang mungkin muncul akibat kebijakan ini. Menurutnya, pajak karbon bisa berdampak lebih signifikan pada kelompok tertentu, sehingga dapat menciptakan bias kelas dalam pelaksanaannya.
“Terlebih, kebijakan-kebijakan yang dapat menimbulkan shock di ekonomi seperti kebijakan pajak karbon cenderung bias kelas,” tambahnya.
Jika tidak diimbangin dengan insentif atau dukungan bagi sektor yang terdampak, pajak ini berpotensi memperburuk ketimpangan ekonomi dan menambahkan beban bagi masyarakat kecil.
Ia menegaskan bahwa tujuan utama pajak karbon bukan sekedat untuk meningkatkan pendapatan negara, tetapi juga untuk mendorong perubahan perilaku menuju ekonomi yang rendah emisi. Seharusnya sebagian besar pendapatan dari pajak karbon digunakan untuk mendukung transisi menuju energi bersih dan mitigasi dampak sosial-ekonomi.
“Pajaknya harus diarahkan untuk transisi energi, bukan hanya untuk memperbaiki kondisi fiskal,” katanya.
Baca Juga: PPN 12% Ditunda, Pengamat Dorong Penerapan Pajak Karbon dan Kekayaan
Kebijakan ini sangat penting untuk memastikan keseimbangan antara kepentingan fiskal dan keberlanjutan lingkungan, sehingga manfaatnya dapat dirasakan secara optimal.
Sebelumnya, Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri dalam acara SMBC Indonesia Economic Outlook 2025 menyinggung kembali terkait penerapan pajak karbon sebagai strategi untuk memperbesar pendapatan negara. Ia menyatakan bahwa kebijakan ini dapat dikaitkan dengan pengenaan cukai terhadap Bahan Bakar MInyak (BBM), sehingga hasil penerimaannya dapat dialokasikan untuk kepentingan sosial dan lingkungan.
Selanjutnya: Laba Bersih Permata Bank Turun 26% YoY Jadi Rp 270 Miliar per Januari 2025
Menarik Dibaca: KAI Operasikan 9.572 Perjalanan Kereta Api Selama Masa Angkutan Lebaran 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News