Reporter: Shifa Nur Fadila | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah sedang mempersiapkan regulasi pajak karbon. Hal itu merupakan upaya pemerintah mengurangi emisi karbon dan mendukung keberlanjutan lingkungan di Indonesia.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan pajak karbon sudah semestinya segera diterapkan. Hal itu menurutnya guna mempercepat pemensiunan PLTU batubara, karena pajak karbon menciptakan biaya yang lebih tinggi bagi PLTU batubara.
"Begitu kena pajak karbon, pemilik PLTU bisa mempertimbangkan untuk mengurangi kapasitas produksi listrik sampai melakukan early retirement," jelasnya kepada Kontan, Senin (26/8).
Selain itu, Bhima mengatakan jika penerapan pajak karbon ini bisa segera dilaksanakan, maka hasil dari pajak karbon bisa digunakan sebagai belanja untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan dan mitigasi terhadap perubahan iklim lainnya. Menurut Bhima skema pajak karbon adalah cap and tax, yang berarti perusahaan yang melebihi batas PTE (Persetujuan Teknis Emisi) bisa dikenakan pajak karbon.
Baca Juga: Dukung Green Industry, PLN Salurkan 275 Ribu Unit REC ke PT Agincourt Resources
"Begitu kena pajak karbon, ada disinsentif bagi pemilik usaha yang memiliki emisi karbon tinggi untuk segera beralih ke sumber energi lain yang rendah karbon," ujarnya.
Dampak positif dari penerapan pajak karbon ini di antaranya pajak karbon dapat memicu percepatan terhadap transisi energi dan proses dekarbonisasi industri. Kehadiran pajak karbon akan menuai dukungan internasional sehingga investasi dari negara maju dengan standar lingkungan yang tinggi tertarik masuk ke Indonesia, pajak karbon akan menarik lebih banyak investasi berkelanjutan. Manfaat lain tentunya rasio pajak akan meningkat dan membuat ruang fiskal semakin lebar.
Meski begitu menurut Bhima masih ada kelemahan dari pajak karbon. Seperti skema pemanfaatan dana pajak karbon bisa jadi masuk ke dalam pos belanja yang tidak berkaitan dengan transisi energi atau perlindungan lingkungan hidup. Misalnya, pajak karbon tetapi hasilnya masuk ke belanja pegawai atau perjalanan dinas yang tidak ada kaitan dengan penurunan emisi karbon.
"Karena skema pajak karbon bukan cukai yang punya skema earmarking atau pemanfaatan dana khusus, dan tarif pajak karbon di Indonesia juga relatif rendah dibanding negara lain sehingga berpengaruh ke perubahan perilaku penyumbang emisi," ungkapnya.
Sebagai informasi aturan terkait implementasi pajak karbon diperkuat melalui pengesehan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Adapun tujuan pengenaan pajak karbon ini bukan hanya menambah penerimaan negara semata, melainkan sebagai instrumen pengendalian iklim dalam mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sesuai prinsip pencemar membayar (polluter pays principle).
Sejatinya dengan adanya UU HPP tersebut, pemerintah bisa menerapkan pajak karbon atas PLTU batubara pada 1 April 2022. Sementara tarif pajak karbon yang diatur dalam UU HPP adalah senilai Rp 30 per kilogram CO2 ekuivalen.
Baca Juga: FPCI: Trump Dinilai akan Hambat Target Net Zero Emission Jika Jadi Presiden AS
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News