kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.528.000   2.000   0,13%
  • USD/IDR 16.140   100,00   0,62%
  • IDX 7.080   43,33   0,62%
  • KOMPAS100 1.058   7,20   0,69%
  • LQ45 827   1,51   0,18%
  • ISSI 216   1,79   0,84%
  • IDX30 423   0,27   0,06%
  • IDXHIDIV20 512   -2,14   -0,42%
  • IDX80 120   0,73   0,61%
  • IDXV30 126   0,70   0,56%
  • IDXQ30 142   -0,50   -0,35%

PPN 12% Ditunda, Pengamat Dorong Penerapan Pajak Karbon dan Kekayaan


Kamis, 28 November 2024 / 17:57 WIB
PPN 12% Ditunda, Pengamat Dorong Penerapan Pajak Karbon dan Kekayaan
ILUSTRASI. Pemerintah berniat melakukan penyesuaian tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% di tahun 2025


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) mengusulkan beberapa kebijakan pajak yang bisa diterapkan pemerintah tanpa membebani daya beli masyarakat, khususnya kelompok menengah.

Hal ini berkaitan dengan rencana pemerintah yang akan menunda penyesuaian tarif pajak pertambahan nilai (PPN) pada 1 Januari 2025 mendatang.

Pengamat Pajak CITA, Fajry Akbar mengatakan bahwa pemerintah memiliki berbagai opsi untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa harus membebani masyarakat umum.

Salah satu opsi yang ia usulkan adalah penerapan pajak karbon, yang landasan hukumnya sudah tercantum dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Baca Juga: OECD Sarankan Batas Penghasilan Tidak Kena Pajak Diturunkan, Ini Kata Pengamat Pajak

"Pajak karbon bisa dijadikan opsi oleh pemerintah terlebih landasan hukumnya sudah dalam UU HPP, tinggal pemerintah kejar aturan di tingkat menteri," ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Kamis (28/11).

Selain pajak karbon, Fajry juga mengusulkan penerapan minimum tax atau pajak minimum bagi kelompok super kaya di tingkat domestik, sebagaimana yang diajukan oleh ekonom Gabriel Zucman.

Dengan ini, kelompok super kaya yang tidak patuh akan dikenai pajak tambahan, sedangkan yang sudah patuh tidak akan terkena tambahan beban pajak.

"Kita bisa gunakan data Tax Amnesty, PPS, dan AEOI untuk menggali potensinya," katanya.

Namun, Fajry mengingatkan bahwa tantangan utama kebijakan ini ada pada aspek legislasi dan teknis pelaksanaan.

"Prosesnya akan memakan waktu lebih dari setahun," imbuh Fajry.

Fajry juga menyoroti pentingnya kebijakan anti-penghindaran pajak untuk korporasi, yang sebenarnya sudah diatur dalam UU HPP.

"Ada dua opsi anti penghindaran pajak di UU HPP namun sampai sekarang belum dieksekusi. Tapi balik lagi, implementasinya tidak akan optimal dalam jangka pendek," imbuhnya.

Ia mengakui bahwa meskipun opsi untuk meningkatkan penerimaan banyak, tantangan utama terletak pada kebutuhan untuk meningkatkan penerimaan dalam waktu singkat.

Sebagai informasi, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) mendorong pemerintah Indonesia mempercepat penerapan pajak karbon.

Baca Juga: PPN 12% Disinyalir Ditunda, Pemerintah Disarankan Terapkan Pajak Karbon Mulai 2025

Berdasarkan laporan OECD Economic Surveys: Indonesia November 2024, lembaga tersebut menyampaikan bahwa Indonesia rentan terhadap dampak pemanasan global.

Selain itu, tujuan negara untuk mencapai emisi gas rumah akca (GRK) nol bersih pada tahun 2060 menjadi tantangan dalam konteks konvergensi ekonomi. Oleh karena itu, dekarbonisasi perlu ditingkatkan lebih lanjut, salah satunya dengan menerapkan pajak karbon.

"Penerapan pajak karbon yang tepat harus dipercepat," tulis OECD dalam laporannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×