Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Indonesia resmi bergabung dengan kelompok negara-negara yang menerapkan pajak minimum global sebesar 15% di tahun 2025 ini.
Langkah ini menjadi bagian dari upaya internasional untuk memastikan perusahaan multinasional, termasuk raksasa teknologi seperti Google, Amazon, dan Meta, membayar pajak secara lebih adil, terlepas dari di mana mereka beroperasi.
Keputusan ini mencerminkan komitmen Indonesia dalam mendukung inisiatif OECD guna mengatasi praktik penghindaran pajak.
Resminya Indonesia mengadopsi pajak minimum global ini sejalan dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024.
Baca Juga: Pajak Minimum 15% Berlaku, Menteri Rosan Siapkan Insentif Non Fiskal Penarik Investor
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Nathan Kacaribu mengatakan pajak minimum global merupakan wujud upaya negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, yang telah diusahakan bersama setidaknya dalam lima tahun terakhir.
Inisiatif ini bertujuan untuk meminimalkan kompetisi tarif pajak yang tidak sehat (race to the bottom) dengan memastikan bahwa perusahaan multinasional beromzet konsolidasi global minimal 750 juta Euro membayar pajak minimum sebesar 15% di negara tempat perusahaan tersebut beroperasi.
"Ketentuan ini tidak berdampak bagi wajib pajak orang pribadi dan UMKM," ujar Febrio dalam keterangan resminya, Kamis (16/1).
Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto menilai, kebijakan tersebut bertujuan untuk menutup celah penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional, terutama melalui pengalihan keuntungan ke negara-negara dengan tarif pajak rendah.
Baca Juga: Pajak Minimum 15% Resmi Berlaku, Pemerintah Pastikan Tak Berdampak ke UMKM
Oleh karena itu, sejumlah negara yang tergabung di dalam OECD/G20 Inclusive Framework (IF) Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), termasuk Indonesia, sepakat untuk menerapkan batasan tarif pajak minimum sebesar 15%.
Dengan demikian, bila ada negara yang masih memberikan fasilitas pajak yang menyebabkan tarif pajak efektifnya di bawah 15%, maka atas selisihnya akan tetap dipungut oleh negara/yurisdiksi tempat induk usaha berada sebagai Top-Up Tax.
Dengan syarat, negara tempat induk usaha tersebut mengapdosi ketentuan serupa.
Jika tidak, maka hak pemungutan Top-Up Tax akan dialihkan ke negara tempat grup perusahaan tersebut berada yang menerapkan ketentuan Undertaxed Payment Rules (UTPR).
Baca Juga: Tok! Indonesia Resmi Terapkan Pajak Minimum Global 15%
"Bagi Indonesia, dengan diterbitkannya PMK ini maka berkesempatan untuk memungut Top-Up Tax. Selama Indonesia menerapkan ketentuan Qualified Domestic Minimum Top-Up Tax," kata Wahyu.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa secara nominal, dampak kebijakan ini mungkin tidak terlalu signifikan.
Hal ini disebabkan oleh jumlah perusahaan multinasional dengan pendapatan bruto di atas EUR 750 juta masih terbatas.
Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman mengatakan bahwa kebijakan pajak minimum global yang berlaku akan membuka peluang baru bagi Indonesia untuk menggenjot penerimaan pajak dari perusahaan multinasional.
"Potensi dari Indonesia itu dari anak perusahaannya. Selama ini anak perusahaan di buat rugi sehingga tidak bayar pajak," kata Raden.
Selama ini, kata Raden, perusahaan tersebut hanya membayar pajak lain seperti PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, dan pajak pertambahan nilai (PPN).
Baca Juga: Menakar Sektor Industri yang Tekor dan Tumbuh Mekar
Namun, pajak yang dibayarkan tersebut secara teori bukanlah beban langsung perusahaan, melainkan pajak orang lain yang wajib dipotong atau dipungut oleh perusahaan.
Sementara itu, Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menganggap bahwa penerapan pajak minimum global bukan hanya untuk meningkatkan penerimaan pajak, melainkan juga menjadi instrumen penting untuk mengurangi praktik profit shiting oleh perusahaan multinasional.
Menurutnya, kebijakan tersebut diharapkan dapat menekan perbedaan tarif pajak penghasilan (PPh) badan antar-yurisdiksi, sehingga mengurangi insentif bagi perusahaan untuk mengalihkan laba ke negara dengan tarif pajak rendah.
Dengan berkurangnya disparitas tarif PPh badan antar-yurisdiksi, peluang untuk melakukan penghindaran pajak melalui pengalihan laba akan menurun.
"Menariknya, saat ini lebih dari 50 yurisdiksi di dunia sudah menerapkan baik mulai 2024 maupun tahun ini," kata Bawono.
Baca Juga: Kenaikan Upah dan Tarif PPN 12% Berpotensi Mengerek Inflasi pada 2025
Aturan ini secara khusus menyasar perusahaan multinasional dengan peredaran bruto secara grup minimal EUR 750 juta, threshold yang sama dengan kewajiban penyusunan dokumentasi transfer pricing menggunakan country-by-country reporting (CbCR).
Artinya, perusahaan domestik yang hanya beroperasi di Indonesia, maupun perusahaan multinasional berskala kecil, tidak termasuk dalam cakupan kebijakan ini.
"Secara tidak langsung ini mengecualikan perusahaan domestik (yang hanya beroperasi di Indonesia) maupun perusahaan multinasional yang berskala kecil," imbuh Bawono.
Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono menyebut bahwa Indonesia bisa mendapatkan penerimaan pajak yang signifikan apabila menerapkan pajak minimum global.
Baca Juga: Himpunan Kawasan Industri (HKI) Beberkan Peluang dan Tantangan Tahun Depan
Berdasarkan hitungannya, Indonesia bisa mendapatkan penerimaan pajak sekitar Rp 3,8 triliun hingga Rp 8,8 triliun dari implementasi pajak minimum global tersebut.
"Berdasarkan analisis dampak ke Indonesia, penerapan pajak minimum global ini akan menghasilkan penerimaan pajak sekitar Rp 3,8 triliun hingga Rp 8,8 triliun, terutama melalui pajak tambahan minimum domestik yang memenuhi syarat," ujar Thomas dalam International Tax Forum 2024, belum lama ini.
Selanjutnya: MRCCC Run For Hope 2025, Mengajak Pelari Tingkatkan Kesadaran Akan Kanker
Menarik Dibaca: Susu dan 4 Minuman Penyebab Jerawat yang Tidak Boleh Dikonsumsi Berlebihan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News