kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.487.000   72.000   2,98%
  • USD/IDR 16.610   15,00   0,09%
  • IDX 8.238   149,11   1,84%
  • KOMPAS100 1.145   25,73   2,30%
  • LQ45 820   23,58   2,96%
  • ISSI 290   4,46   1,56%
  • IDX30 429   13,21   3,18%
  • IDXHIDIV20 487   16,89   3,59%
  • IDX80 127   2,85   2,30%
  • IDXV30 135   1,26   0,95%
  • IDXQ30 136   4,84   3,69%

Penundaan Pajak E-Commerce Dikhawatirkan Timbulkan Ketidakpastian Kebijakan


Selasa, 21 Oktober 2025 / 17:32 WIB
Penundaan Pajak E-Commerce Dikhawatirkan Timbulkan Ketidakpastian Kebijakan
ILUSTRASI. Pekerja menawarkan produk dagangannya secara daring melalui aplikasi E-Commerce di Bandung, Jawa Barat, Senin (30/6/2025). Keputusan pemerintah menunda penerapan pajak e-commerce hingga pertumbuhan ekonomi mencapai 6% berpotensi menimbulkan ketidakpastian.


Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan pemerintah menunda penerapan pajak e-commerce hingga pertumbuhan ekonomi mencapai 6% berpotensi menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha digital. 

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda menilai langkah tersebut dapat memperlambat upaya peningkatan kepatuhan pajak di sektor perdagangan daring.

Ia menjelaskan, penundaan implementasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 membuat sistem pemungutan pajak kembali mengandalkan mekanisme self-assessment.

Baca Juga: Asosiasi UMKM Peringati Soal Transparansi pada Penerapan Pajak E-commerce

Artinya, pelaku usaha yang telah memenuhi syarat tetap wajib melaporkan dan membayar pajaknya secara mandiri, sebagaimana ketentuan yang berlaku sebelumnya.

“Pelaku usaha dengan omzet di atas Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar tetap wajib membayar pajak, baik yang berjualan secara daring maupun luring. Tidak ada pengkhususan untuk pelaku usaha online,” kata Nailul kepada Kontan, Selasa (21/10/2025).

Dalam hal ini, ia bilang seharusnya kebijakan dalam PMK 37/2025 justru bisa membantu pelaku usaha dalam memenuhi kewajiban pajak karena mekanismenya dilakukan otomatis melalui platform marketplace. 

Nah dengan penundaan ini, Nailulmenilai proses pelaporan pajak kembali menjadi tidak efisien dan bisa menyulitkan sebagian pelaku usaha yang belum terbiasa melakukan pelaporan mandiri.

Baca Juga: Kabar Gembira, Pemerintah Tunda Penerapan Pajak E-Commerce Hingga Ekonomi Tumbuh 6%

CELIOS memperkirakan sekitar 10% pelaku usaha yang berjualan di platform digital memiliki omzet lebih dari Rp 500 juta per tahun, bahkan sebagian di antaranya bisa mencapai lebih dari Rp 2,5 miliar. 

“Kelompok ini seharusnya sudah taat pajak dengan sistem self-assessment, dan akan lebih terbantu kalau mekanisme pemungutan di marketplace segera diberlakukan,” katanya.

Pun, menurutnya parameter pertumbuhan ekonomi 6% sebagai acuan penerapan kebijakan pajak e-commerce terlalu kabur alias tak pasti. Menurutnya, ketidakpastian waktu implementasi bisa mengganggu konsistensi sistem perpajakan nasional.

“Siapa yang bisa menjamin ekonomi akan tumbuh 6% dalam empat tahun ke depan? Ketika syaratnya tidak pasti, pelaku usaha juga menjadi bingung kapan aturan ini akan berlaku,” tambah Nailul.

Baca Juga: Menkeu Tunda Penerapan Pajak E-Commerce, Begini Tanggapan idEA

Ia menekankan pentingnya pemerintah menjaga kepastian regulasi di sektor digital agar upaya peningkatan penerimaan pajak tidak terhambat. 

Pun, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) perlu terus memetakan pelaku usaha digital yang sudah memenuhi syarat pajak, sekaligus memperkuat edukasi agar kepatuhan pajak dapat meningkat tanpa menimbulkan kebingungan di lapangan.

Selanjutnya: Industri Tembakau Sokong Penerimaan Negara, Misbakhun Minta Pemerintah Lakukan Ini

Menarik Dibaca: 3 Zodiak yang Sedang Menarik Karma Baik, Ada yang Percintaannya Berkembang

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×