kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Omnibus law perpajakan dibahas, SIN bisa ganjal potential lost


Minggu, 24 November 2019 / 16:11 WIB
Omnibus law perpajakan dibahas, SIN bisa ganjal potential lost
ILUSTRASI. Ilustrasi pajak pph. KONTAN/Baihaki/20/10/2016


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah saat ini tengah mengusung Omnibus Law Perpajakan yang dirancang dalam grand design Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. 

Langka tersebut semakin nyata, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menggelar rapat kerja dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) membahas lebih lanjut soal Omnibus Law Perpajakan guna mendongkrak investasi di dalam negeri.

Baca Juga: Pemerintah akan benahi pengaturan pajak & retribusi daerah demi percepat investasi

Namun demikian, bila Omnibus Law Perpajakan yang rencananya tahun depan dapat diundangkan dapat memicu potential lost penerimaan pajak. Setidaknya ada beberapa penyederhanaan dalam RUU tersebut, misalnya menurunkan Pajak Penghasilan (PPh) Badan secara bertahap dari yang saat ini 25%, menjadi 22% pada 2021, kemudian 20% pada 2023. 

Selanjutnya, untuk tarif PPh Badan go public yang baru terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) diberikan keringanan 3% dari tarif normal 20% jadi 17% yang berlaku selama lima tahun.

Kemudian sanksi bunga atas kekurangan bayar karena pembentukan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan dan SPT Masa bisa lebih rendah dari 2% sanksi bunga per bulan. Di mana dihitung dari suku bunga acuan teranyar yang ditetapkan ditambah 5% dibagi 12.

Baca Juga: Turki tetapkan pajak over the top 7,5%, Indonesia bagaimana?

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pun mengatakan Omnibus Law Perpajakan merupakan pelengkap dari adanya Omnibus Law Perizinan yang berada dalam beleid RUU Cipta Lapangan Kerja.

Sehingga keduanya dapat menjadi paket kebijakan pendobrak investasi. Namun, Sri Mulyani tidak memungkiri akan ada potential lost penerimaan pajak bila RUU tersebut berjalan.

Menanggapi hal tersebut, Hadi Poernomo, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Periode 2001-2006 mengatakan sebetulnya pemerintah mempunyai peluang untuk tetap meningkatkan penerimaan pajak di tengah insentif pajak yang digelontorkan. Menurutnya, Single Identity Number (SIN) adalah solusinya.

Baca Juga: IMB akan dihapus? Ini penjelasan pemerintah

DJP sudah merencanakan SIN sejak agenda Reformasi Perpajakan tahun 2001 yang terakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2001 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2002 sampai dengan tahun anggaran 2006 dengan fokus utama pada pengembangan sistem informasi dan monitoring perpajakan yang terintegrasi dan on-line antar unit-unit terkait. 

SIN memiliki konsep yang hampir serupa dengan konsep Social Security Number di Amerika Serikat. SIN mengintegrasikan secara otomatis (linking by system) data-data finansial maupun nonfinansial di luar aparat pajak ke dalam Bank Data Pajak yang terpusat secara nasional, lalu melakukan proses pencocokan (matching)data lawan transaksi dengan SPT Wajib Pajak (WP). 

Menurut Hadi mekanisme ini membuat SIN mampu mendeteksi kecurangan secara otomatis dan menciptakan kondisi “terpaksa jujur” secara sistem, tidak hanya terkait kecurangan pajak namun juga seluruh kecurangan yang terjadi termasuk korupsi. 

Baca Juga: Investasi sebesar Rp 1.722 triliun terhambat masuk RI karena kebanyakan aturan

“Saya rasa insyaAllah pasti bisa, mengatasi bila ada potential lost dari itu tadi (Omnibus Law Perpajakan)” kata Hadi di Kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP) , Sabtu (23/11).

Menurutnya, kunci dari grand strategy ini terletak pada transparansi. Ada tujuh kendala utama tidak dapat terwujudnya transparansi bersumber pada kerahasiaan. Pertama Pasal 40 UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang mengatur kreditur bank merupakan rahasia.

Kedua, Pasal 41 UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menegaskan debitur bank merupakan rahasia.  Ketiga, Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa soal Laporan Lalu Lintas Devisa merupakan rahasia.

Baca Juga: Selamatkan Rp 892 triliun investasi, Pokja IV menyebut sektor ESDM paling rumit

Keempat, pasal 1 Keppres Nomor 68 Tahun 1983 tentang Deposito yang menyatakan deposito merupakan rahasia. Kelima, Pasal 5 dan Pasal 6 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/121/KEP/DIR tanggal 25 Januari 1995 di mana tidak dilaksanakannya penyampaian NPWP dan Laporan Keuangan dalam Permohonan Kredit. Kelima Pasal 85 dan 89 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal bahwa informasi pelaku pasar merupakan rahasia. 

Keenam ketiadaan akses pada kartu kredit. Ketujuh, Pasal 26 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang TPPU yang mengatur kegiatan pencucian uang dan transaksi mencurigakan tidak dapat diakses pajak karena termasuk rahasia bank.

Hadi menambahkan, SIN sekiranya mampu meningkatkan tax ratio hingga 16%-19%. Menurutnya, SIN akan memaksa WP terkait membuka informasi yang selama ini dianggap rahasia. “Inilah Indonesia banyak harta karun yang belum kita gali,” ujar Hari.

Baca Juga: Pasal penghambat investasi di UU Jasa Konstruksi dan UU Bangunan Gedung akan dihapus

Di sisi lain, Otoritas Perpajakan saat ini nampaknya belum siap mengimplementasikan SIN di tengah tren penurunan penerimaan pajak apalagi bila RUU Ketentuan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian resmi diundangkan. “Masih belum tahu,” kata Sekretaris DJP, Peni Hirjanto, Sabtu (23/11).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×