kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.180   20,00   0,12%
  • IDX 7.096   112,58   1,61%
  • KOMPAS100 1.062   21,87   2,10%
  • LQ45 836   18,74   2,29%
  • ISSI 214   2,12   1,00%
  • IDX30 427   10,60   2,55%
  • IDXHIDIV20 514   11,54   2,30%
  • IDX80 121   2,56   2,16%
  • IDXV30 125   1,25   1,01%
  • IDXQ30 142   3,33   2,39%

Turki tetapkan pajak over the top 7,5%, Indonesia bagaimana?


Minggu, 17 November 2019 / 16:52 WIB
Turki tetapkan pajak over the top 7,5%, Indonesia bagaimana?
ILUSTRASI. Rohaniawan mengambil sumpah jabatan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak yang baru Suryo Utomo di Kementerian Keuangan Jakarta, Jumat (1/11/2019). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/foc.


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Turki menentukan tarif pajak atas perusahaan over the top (OTT) sebesar 7,5% dari pendapatan kotor didapat dari Turki. Digadang-gadang beleid yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut akan disahkan oleh parlemen Turki pada akhir tahun 2019.

Mengutip Bloomberg, Jumat (15/11), rencana pengenaan pajak tersebut diutamakan akan menyasar pada perusahaan sekaliber Google dan Facebook, pasar elektronik seperti eBay, serta platform e-commerce yang terlibat dalam penjualan barang dan layanan digital seperti Spotify dan Netflix.

Baca Juga: Penerimaan negara bukan pajak mencapai Rp 332,9 triliun sampai Oktober 2019

RUU tersebut menjelaskan perkembangan teknologi memungkinkan perusahaan digital memiliki operasi komersial di suatu negara tanpa kehadiran fisik. Sehingga, draf RUU ini bertujuan memungut penghasilan dari layanan semacam itu oleh perusahaan, dengan mempertimbangkan praktik di negara lain.

Namun sayangnya, Indonesia nampaknya belum siap menerapkan tarif pajak digital. Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Suryo Utomo mengatakan belum ada pembahasan soal tarif pajak. Namun menurutnya, tarif pajak digital Turki mungkin menjadi saran bagi Organization for Economic Co-opration and Development (OECD). 

Di samping itu juga melakukan redefinisi badan usaha tetap (BUT), di mana ketentuan saat ini mensyaratkan kehadiran fisik di Indonesia menjadi significant economic presence.

“Belum ada pembahasan tarif, saat ini yang ada di Omnibus Law baru soal kedudukan perusahaan digital yang tidak harus physical presence,” kata Suryo kepada Kontan.co.id di Kompleks Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jumat (15/11).

Baca Juga: Reformasi pajak belum membuktikan perbaikan tax ratio

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama menambahkan untuk OTP, Indonesia belum ke arah model pemajakan unilateral seperti di Inggris, India, dan Prancis.  

“Masih menunggu kesepakatan internasional melalui OECD yang sedang memformulasikan skema perpajakan OTP dan diharapkan tahun 2020 sudah selesai,” kata Yoga kepada Kontan.co.id, Jumat (15/11).

Sementara itu, dalam RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian yang mengandung skema Omnibus Law Perpajakan, pemerintah telah mencantumkan aturan kewajiban pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) oleh OTP atas penjualan barang tidak berwujud dan jasa kepada konsumen di Indonesia. 



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×