Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) baru-baru ini merilis laporan mengenai tantangan yang dihadapi negara berkembang dan pasar ekonomi berkembang (EMDEs) dalam pembiayaan utang.
Dalam laporan bertajuk OECD Global Report 2025: Financing Growth in a Challenging Debt Market Environment, disebutkan, banyak negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) di bawah US$ 300 miliar menghadapi risiko utang yang sangat tinggi atau bahkan dalam kondisi gagal bayar.
Menurut OECD, dari hampir 100 EMDEs yang memiliki obligasi berdaulat dan peringkat kredit dari tiga lembaga pemeringkat utama, 73 di antaranya memiliki PDB di bawah US$ 300 miliar.
Negara-negara ini mencakup sekitar 90% dari EMDEs yang berada dalam risiko tinggi atau gagal bayar, sementara hanya 40% dari mereka yang memiliki peringkat investasi.
Baca Juga: OECD Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI, Sri Mulyani Angkat Bicara
Sebaliknya, di antara negara dengan PDB antara US$ 300 miliar hingga US$ 1 triliun, hanya sekitar seperempat yang berada dalam risiko tinggi atau gagal bayar.
OECD menyoroti sebagian besar negara kecil belum mengembangkan pasar obligasi dalam mata uang lokal. Dari 30 negara penerbit obligasi berdaulat yang memiliki lebih dari 30% utang luar negeri pada akhir 2024, hampir semuanya adalah negara dengan PDB di bawah US$ 300 miliar, kecuali Argentina dan Türkiye.
Negara-negara ini mencakup hampir semua negara dengan risiko utang yang sangat tinggi atau gagal bayar, kecuali Nigeria.
"Hal ini menunjukkan hubungan antara perkembangan pasar obligasi mata uang lokal dan dampak siklus pentetatan global saat ini terhadap keberlanjutan," tulis OECD dalam laporannya, Minggu (23/3).
Pada tahun 1980-an, negara-negara besar seperti Brasil, Meksiko, dan Peru mengalami gagal bayar atau restrukturisasi utang akibat kurangnya pasar obligasi lokal yang kuat.
Pada akhir 1990-an, daftar negara yang mengalami kesulitan serupa mencakup Indonesia, Thailand, dan Filipina.
Baca Juga: OECD Ramal Ekonomi Dunia Tahun Ini Suram, Tarif Perdagangan AS Jadi Penyebabnya
Namun, sejak siklus pengetatan global dimulai pada 2022, negara-negara ini tidak mengalami gagal bayar atau restrukturisasi utang berkat perkembangan pasar obligasi mata uang lokal mereka. Saat ini, lebih dari 90% utang mereka berdenominasi dalam mata uang lokal, kecuali Peru.
"Negara-negara ini telah mengembangkan pendekatan yang lebih strategis terhadap manajemen utang untuk mendorong pasar obligasi mata uang lokal mereka," katanya.
Selanjutnya: Cek Jadwal dan Link Sidang Isbat 1 Syawal 1446 Hijriah Jelang Lebaran 2025
Menarik Dibaca: 5 Warna Sofa Klasik yang Selalu Tren untuk Hunian Elegan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News