kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.926.000   -27.000   -1,38%
  • USD/IDR 16.545   -17,00   -0,10%
  • IDX 6.845   17,22   0,25%
  • KOMPAS100 989   0,80   0,08%
  • LQ45 766   2,60   0,34%
  • ISSI 219   0,42   0,19%
  • IDX30 397   1,64   0,41%
  • IDXHIDIV20 467   0,80   0,17%
  • IDX80 112   0,37   0,33%
  • IDXV30 115   0,32   0,28%
  • IDXQ30 129   0,41   0,31%

OECD: Krisis Utang dan Risiko Gagal Bayar Ancam Negara Berkembang


Minggu, 23 Maret 2025 / 13:02 WIB
OECD: Krisis Utang dan Risiko Gagal Bayar Ancam Negara Berkembang
ILUSTRASI. OECD menyebutkan, banyak negara dengan PDB di bawah US$ 300 miliar menghadapi risiko utang sangat tinggi atau bahkan dalam kondisi gagal bayar.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) baru-baru ini merilis laporan mengenai tantangan yang dihadapi negara berkembang dan pasar ekonomi berkembang (EMDEs) dalam pembiayaan utang.

Dalam laporan bertajuk OECD Global Report 2025: Financing Growth in a Challenging Debt Market Environment, disebutkan, banyak negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) di bawah US$ 300 miliar menghadapi risiko utang yang sangat tinggi atau bahkan dalam kondisi gagal bayar.

Menurut OECD, dari hampir 100 EMDEs yang memiliki obligasi berdaulat dan peringkat kredit dari tiga lembaga pemeringkat utama, 73 di antaranya memiliki PDB di bawah US$ 300 miliar.

Negara-negara ini mencakup sekitar 90% dari EMDEs yang berada dalam risiko tinggi atau gagal bayar, sementara hanya 40% dari mereka yang memiliki peringkat investasi.

Baca Juga: OECD Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI, Sri Mulyani Angkat Bicara

Sebaliknya, di antara negara dengan PDB antara US$ 300 miliar hingga US$ 1 triliun, hanya sekitar seperempat yang berada dalam risiko tinggi atau gagal bayar.

OECD menyoroti sebagian besar negara kecil belum mengembangkan pasar obligasi dalam mata uang lokal. Dari 30 negara penerbit obligasi berdaulat yang memiliki lebih dari 30% utang luar negeri pada akhir 2024, hampir semuanya adalah negara dengan PDB di bawah US$ 300 miliar, kecuali Argentina dan Türkiye. 

Negara-negara ini mencakup hampir semua negara dengan risiko utang yang sangat tinggi atau gagal bayar, kecuali Nigeria.

"Hal ini menunjukkan hubungan antara perkembangan pasar obligasi mata uang lokal dan dampak siklus pentetatan global saat ini terhadap keberlanjutan," tulis OECD dalam laporannya, Minggu (23/3).

Pada tahun 1980-an, negara-negara besar seperti Brasil, Meksiko, dan Peru mengalami gagal bayar atau restrukturisasi utang akibat kurangnya pasar obligasi lokal yang kuat.

Pada akhir 1990-an, daftar negara yang mengalami kesulitan serupa mencakup Indonesia, Thailand, dan Filipina. 

Baca Juga: OECD Ramal Ekonomi Dunia Tahun Ini Suram, Tarif Perdagangan AS Jadi Penyebabnya

Namun, sejak siklus pengetatan global dimulai pada 2022, negara-negara ini tidak mengalami gagal bayar atau restrukturisasi utang berkat perkembangan pasar obligasi mata uang lokal mereka. Saat ini, lebih dari 90% utang mereka berdenominasi dalam mata uang lokal, kecuali Peru.

"Negara-negara ini telah mengembangkan pendekatan yang lebih strategis terhadap manajemen utang untuk mendorong pasar obligasi mata uang lokal mereka," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Cara Praktis Menyusun Sustainability Report dengan GRI Standards Strive

[X]
×