Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Ijtima Komisi Fatwa se-Indonesia VIII menghasilkan keputusan hukum (fatwa) yang menyatakan mengambil dana calon jamaah haji lain tanpa persetujuan dan memanfaatkannya untuk menutupi kebutuhan pemberangkatan hukumnya haram.
Pengelola yang mengambil dana calon jamaah haji dan memanfaatkannya untuk menutupi kebutuhan pemberangkatan jamaah haji lainnya hukumnya dosa.
Merespons hal tersebut, Ketua Komnas Haji, Mustolih Siradj mengatakan, UU Nomor 34 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangam Haji maupun UU Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji memberikan mandat, dana haji harus dikelola sesuai dengan Syariat Islam yang menjamin bebas dari riba, gharar, dan maysir. Karena itu fatwa MUI menjadi sangat relevan.
Komnas Haji menyambut baik fatwa MUI ini karena mendorong efek ganda.
Baca Juga: Menag Usulkan 70% Biaya Haji Ditanggung Jemaah, Ini Alasannya
"Pertama, memberikan keadilan dan melindungi hak jutaan jemaah haji tunggu yang antri puluhan tahun serta menjamin keberangsungan pengelolaan dana," ujar Mustolih dalam keterangan pers, Senin (29/7).
Kedua, menghentikan praktik skema ponzi (ponzi sceam) konsep yang digagas oleh Charles Ponzi pebisnis asal Amerika Serikat, atas pengelolaan keuangan haji yang telah dianggap lumrah oleh BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) sejak lembaga ini didirikan 2017.
Mustolih melihat, BPKH sebagai lembaga yang bertanggungjawab menerima setoran, mengelola dan menginvestasikan dana haji selama ini sangat meng-anak-emaskan jemaah haji yang berangkat lebih dahulu pada tahun berjalan dengan subsidi jorjoran puluhan juta rupiah berkisar Rp 37 juta – Rp 57 Juta per orang.
Adapun jemaah haji yang masih antri dianak-tirikan karena hanya diberikan bagian sebesar Rp 260.000 sampai Rp 560.000 per orang untuk setiap tahunnya dari hasil investasi yang didistribusikan melalui akun virtual (virtual account).
Baca Juga: Usulan Jemaah Haji Tanggung Komposisi Biaya Haji Lebih Besar, YLKI: Tidak Populis
Skema tersebut berpotensi menjadi bom waktu. Jemaah haji waiting list terancam tidak dapat menikmati hasil investasi hasil kelola BPKH karena nilai manfaat habis terkuras untuk subsidi secara jorjoran guna menanggung biaya jemaah haji yang berangkat lebih dulu.
Hal ini seolah-olah Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang dibayar jemaah murah.
"Padahal biaya subsidi itu merupakan hak jutaan jemaah haji tunggu sebagai pemilik dana (shohibul mal) baik pokok maupun hasil investasinya," ungkap Mustolih.
Mustolih mengatakan bahwa jutaan jemaah haji tunggu tidak diberi tahu praktik ini oleh BPKH. Sehingga wajar kalau kemudian fatwa MUI memvonis tata kelola keuangan haji di BPKH saat ini haram dan dosa.
Baca Juga: Kemenag: Seleksi Petugas Haji Daerah Digelar Januari 2024
"Praktik semacam itu dari segi manapun sangat tidak adil, diskriminatif dan tidak sesuai dengan ketentuan syariat (syar’i)," terang Mustolih.
Sementara itu, Anggota BPKH Amri Yusuf mengatakan, hasil investasi dana haji pada tahun 2023 mencapai Rp 10,63 triliun. Dari jumlah itu, sekitar Rp 7,45 triliun (70%) digunakan untuk subsidi biaya haji tahun berjalan. Sedangkan, sisanya yang hanya sekitar Rp 3,17 triliun (30%) dibagikan ke semua calon jemaah haji tunggu.
"Ngga seimbang, itu yang kita anggap ngga sustain," ujar Amri.
Ke depan, BPKH menyerahkan kepada Kementerian Agama dan Komisi VIII DPR untuk menetapkan porsi biaya haji yang ditanggung jemaah atau biaya ibadah perjalanan haji (Bipih) dan porsi nilai manfaat dari BPKH. Sebab, penetapan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) merupakan kesepakatan antara Kemenag dan Komisi VIII DPR.
Baca Juga: Demi Keberlanjutan Dana Haji, Menag Usulkan 70% Biaya Ditanggung Jemaah
"Tapi itu nanti biar porsinya Kementerian Agama dan Komisi VIII DPR. Kita hanya menggambarkan profil keuangan nya dari keputusan yang mereka ambil," ucap Amri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News