Reporter: Ratih Waseso | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyanto menilai, usulan komposisi biaya haji 70:30 dimana 70% ditanggung jemaah akan jadi kebijakan tak populis.
Pasalnya, Agus menerangkan penambahan tanggungan biaya dikhawatirkan bisa berdampak pada jemaah lantaran sulit menutup biaya. Terutama jemaah dari kelompok menengah bawah yang sudah sejak lama menabung untuk haji.
"Kebijakan ini memang tidak populis. Sebab biaya yg ditanggung oleh calon jemaah haji (yang hampir 70jutaan) menjadi sangat besar," kata Agus dihubungi Kontan.co.id, Rabu (12/13).
Baca Juga: Ini Tanggapan Komnas Haji Perihal Tata Kelola Keuangan Haji
Maka, YLKI menyebut kebijakan soal biaya haji perlu mendapat perhatian dari pemerintah dan DPR.
Disisi lain, menurutnya pemerintah juga harus berani bernegosiasi dengan pemerintah Arab Saudi mengingat Indonesia merupakan negara dengan jumlah calon jemaah haji terbesar.
"Negosiasi ini terutama besaran biaya pelayanan transportasi dan akomodasi bagi jamaah haji selama di Arafah, Muzdalifah dan Mina (biaya masyair) agar dapat ditekan," jelasnya.
Baca Juga: Anggota Ombudsman Dorong Adanya Transparansi Pengelolaan Dana Haji
Sebelumnya, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menekankan pentingnya keberlanjutan dan keberadilan dana haji. Oleh karenanya, Ia menilai bahwa persentase yang ditanggung oleh jemaah seharusnya lebih besar dari nilai manfaat.
Pasalnya dalam beberapa tahun terakhir, rasio nilai manfaat terhadap Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) total biaya haji yang semakin tinggi.
Pada 2010 lalu, nilai manfaat hanya menyumbang 12,9% dari total BPIH. Angka persentase nilai manfaat dalam BPIH semakin besar hingga puncaknya pada tahun 2022 sebesar 59,21% atau setara dengan Rp57,9 juta.
Di mana jemaah hanya terbebani sebesar 40,79% atau Rp39,9 juta dari total biaya yang harus dibayarkan untuk berangkat haji yakni Rp97,8 juta.
Baca Juga: Pelunasan Biaya Haji Khusus Dimulai, Cek Biaya Haji 2024 & Tahun Ke Tahun
"Sisanya tentu dibayarkan dari perolehan nilai manfaat BPKH. Menurut kami hal ini merupakan perilaku yang kurang sehat," kata Yaqut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News