kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.482.000   11.000   0,75%
  • USD/IDR 15.490   -65,00   -0,42%
  • IDX 7.496   -47,74   -0,63%
  • KOMPAS100 1.161   -10,37   -0,89%
  • LQ45 930   -7,66   -0,82%
  • ISSI 225   -1,75   -0,77%
  • IDX30 479   -4,07   -0,84%
  • IDXHIDIV20 576   -4,59   -0,79%
  • IDX80 132   -1,10   -0,82%
  • IDXV30 142   -0,97   -0,68%
  • IDXQ30 160   -1,14   -0,70%

Jokowi masih bingung relokasi warga bantaran kali


Minggu, 02 Maret 2014 / 13:30 WIB
Jokowi masih bingung relokasi warga bantaran kali
OPINI - Siswa Rizali, Anggota Utama Perkumpulan Wakil Manajer Investasi Indonesia (PWMII)


Sumber: Kompas.com | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Wacana relokasi warga bantaran sungai atau waduk di Jakarta sudah terdengar lama. Namun, hal itu tampaknya baru serius ditindaklanjuti di era kepemimpinan Gubernur Jakarta Joko Widodo.

Sejak satu tahun empat bulan memimpin DKI, ribuan warga bisa direlokasi ke rumah susun. Namun, wacana relokasi warga di bantaran masih dibelit sejumlah persoalan penting. Mulai dari resistansi warganya sendiri hingga minimnya lahan di Jakarta untuk pembangunan rumah susun.

Gubernur Jakarta Joko Widodo bahkan terlihat ragu saat ditanya apakah optimistis mampu membersihkan bantaran waduk dan sungai di DKI.

Saat berbincang santai di redaksi Kompas.com di Jalan Palmerah Selatan, Jakarta Barat, beberapa waktu lalu, dia memaparkan ada 1.036.000 kepala keluarga yang tinggal di bantaran 13 sungai besar, 884 saluran, dan 12 waduk besar. Jika satu KK terdiri dari tiga anggota keluarga, artinya Pemprov DKI Jakarta harus memindahkan 3.108.000 jiwa, hampir 30 persen warga DKI.

"Coba bayangin aja sendiri, gimana mindahin orang sebanyak itu?" kata Jokowi.

Ada dua persoalan yang membayangi kebijakan Jokowi ini. Pertama, relokasi mengharuskan warga yang jadi targetnya memiliki dokumen identitas resmi. Sementara itu, tidak semua warga bantaran memiliki dokumen tersebut. Kondisi ini tak bisa diterima dengan prosedur birokrasi sehingga relokasi warga terancam gagal.

"Saya maunya masuk rusun sajalah pertamanya. Administrasinya itu baru ikut. Nah, administrasi kita kacau. Ada anak yang enggak ada akta, sekeluarga enggak punya KTP. Birokrasi yang kayak begitu enggak bisa nerima. Mau buat apa dong?" lanjut Jokowi.

Persoalan selanjutnya adalah kurangnya rumah susun di Jakarta untuk menampung warga bantaran. Dari perhitungan Jokowi itu, Jakarta mesti membangun sekitar 8.633 blok rusun. Ancar-ancarnya, satu blok rusun terdiri dari 6 lantai dengan 120 hunian.

Membangun rusun pun bukan perkara mudah. Jika satu blok itu membutuhkan 330 meter persegi, Pemprov DKI butuh 2.844 hektar. Luas itu sama saja nyaris 30 persen luas Jakarta.

"Bayangkan saja di mana Jakarta tanah segitu? Kita nyari lahan dua hektar saja susah. Ini lagi, ribuan hektar begitu," lanjutnya.

Solusinya, Jokowi mengaku tengah melirik daerah pinggiran DKI Jakarta sebagai lokasi pembangunan rusun. Misalnya Marunda, Rorotan, Cengkareng, Cakung, dan sebagainya. Itu pun, lanjutnya, Pemprov DKI perlu membangun sejumlah infrastruktur terlebih dahulu supaya masyarakat bersedia dipindah.

Rusun Marunda, kata Jokowi, menjadi contoh proyek yang telah dalam tahap pembangunan infrastruktur pendukung. Mulai dari penempatan transportasi umum, pembangunan puskesmas, sekolah dari SD hingga SMA, dan dibukanya tempat usaha warga.

Ketika ditanya, berapa tahun program itu tercapai semua? Jokowi hanya tersenyum. "Sembilan tahunlah. Dipas-pasin saja sama saya (satu periode menjadi gubernur)," ujarnya seraya tertawa.  (Fabian Januarius Kuwado)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Eksekusi Jaminan Fidusia Pasca Putusan MK Supply Chain Management on Procurement Economies of Scale (SCMPES)

[X]
×