kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.953.000   -3.000   -0,15%
  • USD/IDR 16.500   45,00   0,27%
  • IDX 6.828   -98,48   -1,42%
  • KOMPAS100 988   -16,47   -1,64%
  • LQ45 764   -13,30   -1,71%
  • ISSI 218   -2,39   -1,08%
  • IDX30 396   -7,05   -1,75%
  • IDXHIDIV20 467   -8,64   -1,82%
  • IDX80 111   -1,85   -1,64%
  • IDXV30 114   -1,16   -1,00%
  • IDXQ30 129   -2,13   -1,62%

Jangan Gegabah Kelola Danantara, Risiko Jebolnya Fiskal Mengintai


Kamis, 08 Mei 2025 / 20:18 WIB
Jangan Gegabah Kelola Danantara, Risiko Jebolnya Fiskal Mengintai
ILUSTRASI. Danantara Indonesia menggelar pertemuan strategis perdana bersama jajaran managing director setelah nama mereka diumumkan, di Jakarta, Senin (24/3/2025). COO Dony Oskaria memberikan pemaparan visi besar Danantara Indonesia, disusul CIO Pandu Sjahrir, yang memaparkan strategi investasi dalam merespons lanskap ekonomi global yang semakin kompleks namun penuh peluang. (Dok. Danantara Indonesia)


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah diminta untuk tidak gegabah dalam mengelola Lembaga Pengelola Investasi Danantara yang baru dibentuk.

Para lembaga internasional dan ekonom mengingatkan bahwa jika tidak dikelola secara hati-hati, Danantara justru bisa menjadi sumber risiko besar bagi keuangan negara.

Sejak awal pembentukan Danantara, sudah banyak kritik yang diarahkan ke pemerintah. Mulai dari ketidakjelasan struktur kelembagaan, sumber pendanaan, hingga arah investasi yang akan diambil. 

Baru-baru ini, Lembaga pemeringkat kredit internasional S&P Global Ratings juga ikut menyoroti hadirnya Danantara.

Menurut Direktur S&P Andrew Wood,  pembentukan Danantara tidak secara langsung memengaruhi peringkat kredit Indonesia. Namun, lembaga pemeringkat tersebut mencatat bahwa struktur fiskal dan utang negara akan tetap menjadi faktor utama yang dipantau.

Baca Juga: 2,5% Dividen BUMN Akan Dikelola Danantara Foundation, Untuk Apa Saja?

Lebih lanjut, S&P menyatakan bahwa utang Danantara dapat diklasifikasikan sebagai kewajiban kontinjensi pemerintah jika terdapat jaminan eksplisit dari negara terhadap utang tersebut. 

Hal ini juga berlaku jika lembaga pemeringkat menilai bahwa pemerintah kemungkinan besar akan memberikan dukungan keuangan terhadap kewajiban Danantara jika diperlukan.

Sebelumnya, Managing Director Finance Danantara Arief Budiman mengatakan bahwa dalam konteks kelompok usaha di bawah Danantara, penggunaan utang merupakan hal yang sudah lumrah, termasuk oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Pernyataan tersebut menanggapi pertanyaan mengenai kemungkinan pemerintah menaikkan utang demi mengejar prioritas pembangunan, dalam sesi diskusi di acara Fitch on Indonesia 2025, Rabu (7/5).

"Sekali lagi, tergantung pada apa yang Anda maksud. Jika Anda berbicara tentang utang di bawah sebuah grup, tentu saja kami akan meningkatkan utang. Kita sudah punya BUMN dan banyak yang lain," katanya.

Namun, Arif menekankan bahwa pada level holding maupun super-holding, pendekatannya akan berbeda. Ia menyebutkan perlunya aksi sosial dan kebijakan yang lebih hati-hati dalam mengelola struktur keuangan di tingkat atas.

"Bagi Anda yang menjadi penyandang dana atau pemegang saham, masih ada seri A. Jadi pemerintah akan tetap berkomitmen untuk itu," imbuh Arif.

Ia menambahkan bahwa stabilitas dan kesehatan dari entitas holding maupun super-holding menjadi perhatian utama, terutama mengingat peran strategisnya dalam mengelola aset nasional dan keterlibatan dengan sektor perbankan.

Baca Juga: Pengamat: Danantara Perlu Bantu Benahi BUMN yang Sakit, Bukan Hanya Cari Investor

Dalam konteks investasi, Arif juga membuka peluang keterlibatan Danantara dalam proyek-proyek berskala besar, termasuk proyek greenfield yang memerlukan skema pembiayaan proyek (project finance). Namun, ia mengingatkan bahwa fokus utama tetap pada investasi yang komersial dan menguntungkan.

"Jika kami yakin dengan kemampuan kami dan ada cukup banyak jalur investasi komersial yang menguntungkan, ini adalah sesuatu yang perlu kami lihat," pungkasnya.

Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky mengatakan bahwa Danantara saat ini masih sarat ketidakpastian, baik dari sisi tata kelola, konflik kepentingan, hingga dampaknya terhadap stabilitas fiskal Indonesia.

Ia menyoroti bagaimana Danantara akan mengelola investasi dari berbagai BUMN yang selama ini dinilai belum sepenuhnya sehat secara finansial.

Menurutnya, banyak BUMN sebelumnya tidak menunjukkan profitabilitas tinggi, dan jika tata kelola tidak dibenahi, potensi kerugian dan kebutuhan akan Penyertaan Modal Negara (PMN) tetap akan membayangi.

"Ini akan memberikan beban fiskal," kata Riefky.

Riefky juga memperingatkan bahwa buruknya tata kelola Danantara bisa berdampak sistemik terhadap postur fiskal negara. 

Jika pemerintah terus menanggung risiko keuangan dari lembaga atau BUMN yang tidak efisien, hal itu bisa memicu penurunan credit rating Indonesia.

"Jadi hal-hal seperti ini memang perlu diresolve (selesaikan) terlebih dahulu di Danantara," katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, turut memberikan catatan kritis terkait peran dan prospek keuangan Danantara.

Menurut Bhima, posisi Danantara yang memerankan dua fungsi sekaligus, yakni sebagai wasit dan pemain, berpotensi menimbulkan konflik kepentingan serta memperlambat pengambilan keputusan.

Ia menilai struktur birokrasi yang melibatkan Kementerian BUMN hingga Dewan Penasehat dengan unsur politik yang kuat, justru menjadi hambatan tersendiri

"Tentu ini juga menjadi salah satu isu besar yang bisa menghambat kecepatan Danantara dalam mengeksekusi proyek-proyek gitu, karena sama aja jadi menambah layar birokrasi yang rumit," terang Bhima.

Baca Juga: Restrukturisasi BUMN Karya Bakal Telan Ratusan Triliun, Bagaimana Nasib Danantara?

Lebih jauh, Bhima menyoroti risiko terkait sovereign bond rating atau pemeringkatan utang Danantara. Ia mempertanyakan kondisi aset-aset yang dikelola, terutama karena tidak semua berasal dari BUMN yang sehat secara kinerja. 

Bahkan beberapa anak dan cucu usaha BUMN dinilai justru menjadi beban karena tidak menghasilkan dividen atau profitabilitas yang baik.

Bhima juga mengingatkan bahwa jika Danantara tidak selektif dalam membiayai proyek-proyek, maka konsekuensinya bisa berupa peningkatan cost of capital di pasar keuangan.

"Itu akan menjadi dampak negatif juga dan kesulitan Danantara atau cost of capitalnya akan menjadi lebih mahal ketika melakukan pembiayaan proyek," katanya.

Senada, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin juga menekankan pentingnya kehati-hatian dalam pengelolaan Danantara.

Ia mengatakan bahwa penting bagi pimpinan Danantara dan pemerintah untuk hati-hati dalam menempatkan posisi Danantara, agar tidak muncul isu terkait politisasi dan tata kelola yang buruk.

"Jika ada yg salah (pengelolaan), maka akan sangat berpengaruh buruk bagi reputasi Danantara dan Indonesia, demikian juga sebaliknya," kata Wija.

Salah satu contoh konkret yang disoroti oleh Wija adalah ide pendanaan Koperasi Merah Putih sebesar Rp 450 triliun oleh bank Himbara. Jika ide ini terlaksana, menurutnya, reputasi Danantara bisa runtuh, dan imej Indonesia akan terperosok.

"Capital outflow dari pasar modal akan makin kencang," Imbuhnya.

Meski pandangan S&P Global Ratings masih netral, namun Wija menekankan bahwa hal tersebut harus menjadi perhatian dan kewaspadaan bersama.

"Kalau S&P Global saja tidak kita pedulikan, saya khawatir akan banyak investor putus asa," tegas Wija.

Baca Juga: S&P Global Ratings Pantau Risiko Fiskal dari Pembentukan Danantara

Selanjutnya: Industri Keluhkan Realisasi Gas Murah Tak Maksimal, Bahlil: Saya Belum Terima Laporan

Menarik Dibaca: Nyaris 9 Juta Penonton, Film Jumbo Siap Gusur Posisi Agak Laen

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Cara Praktis Menyusun Sustainability Report dengan GRI Standards Strive

[X]
×