Reporter: Siti Masitoh | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Bank Indonesia (BI) nampaknya sedang dilema antara mendahulukan kebijakan untuk menjaga stabilitas makro yakni nilai tukar rupiah dan arus modal, atau mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengungkapkan BI memang sudah perlu mulai mendorong pertumbuhan ekonomi, namun ruang untuk melakukannya melalui pemangkasan suku bunga acuan atau BI-Rate, nampaknya masih sangat terbatas dalam waktu dekat.
Hal ini disebabkan oleh beberapa pertimbangan fundamental seperti, pertama, BI saat ini masih mempertahankan BI Rate di level 5,75% sebagai respons terhadap tekanan eksternal terhadap nilai tukar rupiah dan untuk mengantisipasi ketidakpastian global, khususnya seputar arah kebijakan suku bunga The Fed dan eskalasi perang dagang global.
Baca Juga: Menko Airlangga Ungkap Langkah Pemerintah untuk Jaga Pertumbuhan Ekonomi
“Meskipun inflasi domestik terkendali (1,95% yoy per April 2025), nilai tukar rupiah yang masih cenderung bergerak dinamis membuat BI harus menjaga daya saing aset domestik dan arus modal,” tutur Josua kepada Kontan, Rabu (7/5).
Kedua, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya mencapai 4,87% yoy pada kuartal I 2025 tercatat terendah sejak kuartal III 2024, mengindikasikan lemahnya permintaan domestik.
Selain itu, Josua juga menyebut konsumsi rumah tangga lambat ke 4,89% meskipun ada momentum Ramadan, sedangkan investasi (PMTB) anjlok ke 2,12%. Hal ini lanjutnya, memperlihatkan bahwa pendorong utama ekonomi kehilangan tenaga, dan dunia usaha masih wait-and-see karena ketidakpastian global dan suku bunga tinggi.
Adapun Josua menyebut, jika penurunan suku bunga belum memungkinkan, BI masih memiliki berbagai instrumen lain untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
Misalnya melakukan operasi moneter pro-pasar seperti SRBI, SVBI, dan SUVBI untuk menstabilkan pasar valas dan SBN, serta menurunkan volatilitas yield. Kemudian, melakukan pelonggaran makroprudensial.
“BI bisa meningkatkan insentif makroprudensial kredit atau pembiayaan seperti pelonggaran syarat LTV untuk KPR, kendaraan, dan pembiayaan sektor produktif,” ungkapnya.
Selanjutnya, bisa juga dengan melakukan stabilisasi nilai tukar melalui intervensi triple intervention dan diplomasi kebijakan eksternal yang terkoordinasi dengan Kemenkeu.
Serta, dukungan terhadap sektor prioritas: Mendorong penyaluran kredit ke sektor padat karya seperti manufaktur, pertanian, dan perdagangan, melalui insentif giro wajib minimum (GWM) dan makroprudensial hijau.
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Melambat, BI: Investor Masih Optimistis
Lebih lanjut Josua menyebut, meskipun belum saatnya menurunkan suku bunga dalam waktu dekat, arah kebijakan ke depan berpotensi lebih akomodatif apabila ketidakpastian eksternal mulai mereda, seperti dimulainya pemangkasan suku bunga oleh The Fed atau meredanya tensi perang dagang.
“Dalam kondisi sekarang, peran aktif BI dapat dilakukan melalui instrumen likuiditas, makroprudensial, dan penguatan bauran kebijakan bersama fiskal,” tandasnya,
Sementara itu, Kepala Ekonom BCA David Sumual mengungkapkan, BI bisa saja kembali melonggarkan kebijakan moneter melalui penurunan suku bunga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. akan tetapi, menurutnya keputusan tersebut sangat tergantung pada perkembangan eksternal.
“Tergangung perkembangan eksternal terkait perang dagang dan pengaruhnya terhadap rupiah,” kata David.
Selain itu, kebijakan dari sisi fiskal juga diperlukan untuk dorong perekonomian, bisa diperkuat dengan percepatan realisasi program flagship pemerintah.
“Selain itu, kebijakan yang lebih longgar melalui kebijakan makroprudensial dan KLM,” tandasnya.
Selanjutnya: Demi Berantas Demam Berdarah, Bill Gates Pernah Rela Digigiti Nyamuk di Yogyakarta
Menarik Dibaca: 5 Cara Merawat Botol Parfum yang Benar agar Aromanya Tetap Terjaga
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News