Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Adi Wikanto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Polemik tambang nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya semakin ramai. Pasalnya, tambang nikel di Raja Ampat itu diduga melanggar sejumlah aturan hukum.
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar. "Tambang tersebut diduga melanggar sejumlah ketentuan hukum, termasuk Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2023," ungkap Bisman kepada Kontan, Minggu (8/6).
Pada UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengatur bahwa kawasan pesisir & pulau kecil harus diprioritaskan untuk konservasi, penelitian, pariwisata, perikanan, dan melarang penambangan di kawasan ini jika bisa menyebabkan kerusakan lingkungan atau sosial.
Baca Juga: BYD Mobil Listrik Terlaris, Ini Harga BYD Atto Dolphin M6 Seal Denza Per Juni 2025
Menurut Bisman, kegiatan usaha pertambangan wajib mengacu pada prinsip berwawasan lingkungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Artinya, setiap operasi tambang harus mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
"Operasi pertambangan di Raja Ampat patut disesalkan karena kerusakan yang ditimbulkan terjadi di wilayah yang dikenal sebagai salah satu surga alam dengan kekayaan hayati luar biasa," kata Bisman.
Bisman menekankan, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin tambang nikel di wilayah tersebut. Evaluasi mencakup seluruh proses, mulai dari penerbitan izin, pengawasan pelaksanaan operasi, penerapan prinsip good mining practice, hingga komitmen perusahaan dalam menjalankan reklamasi dan pemulihan lingkungan.
Selain itu, kata Bisman, pemerintah tidak boleh ragu untuk menghentikan dan mencabut izin tambang jika ditemukan pelanggaran. Kegiatan ini patut diduga telah melanggar UU Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta UU Lingkungan Hidup. Apalagi Putusan MK 2023 telah mempertegas perlindungan hukum atas kawasan pesisir dan pulau kecil.
Bisman menambahkan, kerusakan lingkungan akibat tambang bukan hal baru di Indonesia. Ia mencontohkan kondisi di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah yang mengalami degradasi lingkungan akibat aktivitas tambang yang tidak terkendali.
"Risiko lingkungan yang ditimbulkan terlalu besar. Oleh karena itu, dibutuhkan langkah tegas dari pemerintah untuk menyelamatkan lingkungan, khususnya di wilayah-wilayah yang memiliki nilai ekologis tinggi seperti Raja Ampat," pungkasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai perlu dilakukan evaluasi total dan moratorium izin tambang.
"Bukan hanya soal Cirebon dan Raja Ampat, bahkan Yogyakarta yang dikenal destinasi pariwisata saja sedang bermasalah soal tata kelola tambang," kata Bhima kepada Kontan, Minggu (8/6).
Menurut Bhima, selain masalah lingkungan dan hilangnya nilai karbon, pertambangan yang terlalu meluas dan ekspansif berisiko tinggi terhadap hilangnya pendapatan masyarakat lokal jangka panjang khususnya di sektor pertanian dan perikanan.
"Kalau pemerintah pusat serius bisa segera bentuk tim moratorium izin tambang baik nikel dan galian C, berkoordinasi dengan akademisi independen dan kepala daerah," jelasnya.
Bhima menambahkan, selama ini banyak pemerintah daerah merasa ekspansi tambang tidak banyak membantu pendapatan daerah sementara biaya kerusakan jalan dan biaya kesehatan yang sangat besar.
Tonton: Amran Sulaiman Pecat Dua Pegawai Kementan, Diduga Lakukan Pungli hingga Rp 29 Miliar
Selanjutnya: Prakiraan Cuaca Hari Ini Jawa Timur: Surabaya, Madiun, Malang dan Wilayah Lain
Menarik Dibaca: Hari Ini Terakhir! Promo Domino's Pizza Idul Adha Treats Diskon 99% Medium ke-2
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News