kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Ini poin penting revisi UU Kepailitan dan PKPU


Senin, 02 Juli 2018 / 07:42 WIB
Ini poin penting revisi UU Kepailitan dan PKPU
ILUSTRASI. Ilustrasi Simbol Hukum dan Keadilan


Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Revisi Undang-Undang (UU) 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) saat ini masih dalam proses finalisasi naskah akademik yang ditargetkan rampung September mendatang. Sehingga pada 2019, pemerintah bersama DPR bisa mulai membahas Rancangan Undang-undangnya.

Dari naskah akademik tertanggal Desember 2017, yang disusun Ketua Tim Pokja Teddy Anggoro, Kontan.co.id setidaknya mencatat ada 17 isu krusial yang akan direvisi atau ditambahkan dalam beleid selanjutnya

Poin-poin tersebut meliputi aspek permohonan. Ihwal ini ada tiga aspek pertama terkait jumlah kreditur. Dalam beleid yang lama, satu kreditur dengan utang jatuh tempo bisa mengajukan pailit dengan menggandeng kreditur lain yang utang utangnya belum jatuh tempo.

Ketentuan ini diusulkan diubah dengan minimal dua kreditur dengan utang jatuh tempo yang bisa mengajukan permohonan.

Kedua, soal nilai minimum permohonan, di mana diusulkan adanya nilai minimum sebesar Rp 500 juta sebagai syarat pengajuan permohonan. Sebelumnya tak ada ketentuan soal ini.

"Artinya kepailitan harus berada di atas Rp 500 juta. Di bawah itu bisa dibentuk mekanisme lain. Nilainya memang masih dalam pembahasan, tapi ketentuan batas minimum utang pasti akan kita masukan dalam revisi," katanya kepada Kontan.co.id, Minggu (1/7).

Ketiga, diusulkannya dilakukan insolvency test, guna mengukur kemampuan debitur membayar utang-utangnya. Sebelumnya tak ada ketentuan soal ini.

Tes insolvensi merupakan suatu metode yang dilakukan untuk menentukan tingkat kesehatan usaha debitur, yang nantinya akan dijadikan suatu ukuran apakah debitour tersebut layak untuk dipailitkan atau tidak. Misalnya dilakukan melalui perbandingan nilai aset dengan total nilai utangnya.

Selain soal syarat permohonan, soal mekanisme pembuktian sederhana juga jadi sorotan. Soal ini jadi poin keempat dan kelima. Yaitu, di mana mekanisme pembuktian diubah menjadi pembuktian sederhana menjadi pembuktian faktual, di mana insolvency test bisa jadi salah satu intrumennya.

Kemudian soal kewenangan hakim pemutus. Dengan melihat hasil insolvency test hakim bisa memutuskan secara independen apakah debitur masih sanggup membayar utang-utangnya atau tidak. Sekalipun permohonan berawal dari PKPU yang kemudian memutus debitur pailit dalam voting.

Keenam, soal keadaan diam otomatis (automatic stay) diusulkan bisa langsung terjadi ketika perkara pailit didaftarkan, sementara aturan sebelumnya, automatic stay baru berlaku semenjak ada putusan pailit.

Hal tersebut diusulkan guna menghindari kemungkinan adanya pemindahan aset dari debitur, terlebih jika permohonan pailit diajukan debitur.

Perihal automatic stay, diusulkan pula adanya lembaga khusus yang semenjak perkara didaftarkan berwenang membekukan aset.

Ketujuh, soal eksekusi kreditur separatis (dengan jaminan), Ihwal ini sejatinya dalam UU 37/2004 juga telah ada pertentangan dimana dalam pasal 55 kreditur separatis bisa mengeksekusi aset seolah tak terjadi kepailitan.

Namun dalam pasal 56, eksekusi harus ditangguhkan dengan waktu maksimal 90 hari. Pasal 56 diusulkan untuk dihapus agar kreditur separatis bisa langsung eksekusi jaminannya.

Kedelapan, soal kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengajukan permohonan pailit. Dalam beleid sebelumnya tak disebutkan soal kewenangan OJK, lantaran kala itu kewenangan terkait lembaga keuangan memang masih berada di Bank Indonesia.

Kesembilan, soal BUMN, BUMD, dan BUMDes. Badan usaha plat merah ini diusulkan dapat pengecualian untuk sektor-sektor yang menggarap kepentingan publik dan belum dapat dilakukan sektor swasta.

"Usulannya kita akan kecualikan BUMN yang signifikan, ukurannya misalnya mereka menyelenggarakan PSO. Atau industri yang belum bisa digarap oleh swasta. Kalau sekarang tidak ada pengecualian, BUMN 100 persen dimiliki negara pun masih bisa dipailitkan oleh Menteri BUMN," jelas Teddy.

Kesepuluh, ketentuan soal kepailitan BUMD, dan BUMDes juga diajukan untuk diatur. Sebab dalam UU 37/2004 tak ada ketentuan soal ini.

Kemudian ada beberapa poin soal kedudukan dan pengawasan kurator. Poin kesebelas, kurator diusulkan untuk diangkat oleh negara. Sementara selama ini pengangkatan kuratornyanya dilakukan oleh organisasi profesi.

Keduabelas, diusulkan pembentukan lembaga pengawas kurator, sementara sebelumnya tindak tanduk kurator hanya diawasi oleh Hakim Pengawas.

Ketigabelas, soal koordinasi sita dengan perkara pidana. Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) Nien Rafless Siregar bilang hal ini dibutuhkan sebab dalam regulasi sebelumnya tak ada persinggungan soal ini.

"Perlu koordinasi soal penyitaan aset antara perkara niaga dan pidana. Karena di pidanabkan sita umum, fungsinya untuk membuktikan tindak pidana. Jadi kalau sudah selesai aset bisa dikembalikan ke kurator," jelasnya kepada KONTAN.

Beberapa kasus tumpang tindih sita jaminan perkara niaga dan pidana misalnya kasus PKPU First Travel dan Koperasi Pandawa. Di mana para petinggi usaha tersebut juga berhadapan dengan kasus pidana. Sayangnya setelah ada putusan pidana, aset-aset justru dirampas negara.

Keempatbelas, adalah soal penghapusan hak kreditur untuk mengajukan PKPU. Dalam usulan revisinya, permohonan PKPU hanya bisa diajukan oleh debitur.

Kelimabelas, soal tagihan karyawan diusulkan derajatnya ditingkatkan di atas tagihan negara (pajak). Sementara selama ini baik pajak maupun tagihan karyawan posisinya setara, dan mebjadi kreditur preferen (diprioritaskan) dibandingkan kreditur separatis, maupun kreditur konkuren (tanpa jaminan).

Keenambelas, soal insolvensi lintas negara (cross border insolvency). Selama ini hukum kepailitan di Indonesia tak menganut sistem ini sehingga dalam usulannya, ketentuan ini diharapkan bisa masuk dalam beleid kepailitan selanjutnya. Ketiadaan norma ini, disebutkan Raffles menyulitkan pemberesan harta pailit debitur jika berada di negara lain.

"Putusan pailit di Indonesia tidak diakui di negara lain. Sehingga untuk pemberesan aset debitur di luar negeri, harus ada permohonan lagi di negara tersebut," katanya.

Sementara poin terakhir soal adanya transparansi penjualan harta pailit bagi debitur. Selama ini, kurator dinilai tak cukup transparan dalam urusan penjualan aset-aset pailit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×