Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Ekonom Hendri Saparini berpendapat, pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dari Bank Indoensia (BI) kepada Bank Century serta penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik tidak termasuk itikad baik.
Pasalnya, jika keputusan tersebut berdasarkan itikad baik, maka akan didasarkan adanya data-data dan peraturan yang harus dipatuhi.
"Kalau kita berpatokan pada tata cara pengawasan bank bersamalah, kita tetap gunakan kriteria yang harus dipatuhi. Itikad baik adalah didasarkan pada data. Kalau tidak menggunakan data terkini tidak bisa disebut itikad baik," kata Hendri saat menjadi saksi ahli dalam persidangan kasus Century dengan terdakwa Budi Mulya di pengadilan Tindak Pidana korupsi (Tipikor), Jakarta, Senin (12/5).
Lebih lanjut, Hendri menyebut, perubahan Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang FPJP dimana syarat rasio kecukupan modal (CAR) yang awalnya minimal 8% menjadi hanya positif saja, sudah menjadi pertanyaan besar. Padahal, penetapan syarat FPJP sebah bank harus memiliki CAR sebesar 8% sudah menjadi kesepakatan internasional.
Sementara itu, terkait pengucuran dana talangan (bail out) kepada Bank Century, menurut hemat Hendri, BI harus memastikan terlebih dahulu besaran angka pemberian bail out tersebut, sehingga tidak perlu melakukan penambahan dana berikutnya.
"Angka pemberian bailout seharusnya ditetapkan sejak awal sehingga jangan berubah-berubah lagi," ungkapnya.
Dia menambahkan, BI juga harus benar-benar melakukan kajian terkait pemberian bail out kepada suatu bank yang memang layak serta menetapkan angka pemberian bail out secara hati-hati. Tidak hanya BI, hal ini seharusnya dilakukan pula oleh pemilik bank.
Dalam persidangan sebelumnya, Wakil Presiden Boediono yang dalam kasus tersebut menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia mengatakan bahwa kebijakan pemberian FPJP dan Penyertaan Modal Sementara (PMS) bagi Bank Century dilandasi itikad baik.
Menurut Boediono, hal tersebut dilakukan guna menyelamatkan kondisi ekonomi dan perbankan saat itu untuk menghindari krisis ekonomi seperti yang terjadi pada 1997-1998 lalu.
”Dua kebijakan itu juga diambil berdasarkan ketentuan perundangan yang sah. Proses pengambilan keputusan dilakukan melalui pertimbangan komprehensif dengan mengkaji opsi-opsi yang tersedia, sekali lagi kebijakan itu tidak lain demi menjaga stabilitas perekonomian negara dan perbankan nasional,” kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News