kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.535.000   -4.000   -0,26%
  • USD/IDR 16.139   61,00   0,38%
  • IDX 7.080   -0,54   -0,01%
  • KOMPAS100 1.051   -4,00   -0,38%
  • LQ45 822   -4,32   -0,52%
  • ISSI 212   -0,08   -0,04%
  • IDX30 421   -2,85   -0,67%
  • IDXHIDIV20 503   -3,62   -0,72%
  • IDX80 120   -0,47   -0,39%
  • IDXV30 125   -0,05   -0,04%
  • IDXQ30 139   -0,92   -0,65%

Coretax System Tuai Protes Wajib Pajak, Ini yang Harus Dilakukan Pemerintah


Minggu, 05 Januari 2025 / 21:05 WIB
Coretax System Tuai Protes Wajib Pajak, Ini yang Harus Dilakukan Pemerintah
ILUSTRASI. Tahun 2025 akan menjadi tonggak penting dalam sistem perpajakan Indonesia dengan diberlakukannya penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan penggantian sistem DJP Online ke Coretax.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Putri Werdiningsih

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Sistem pajak canggih yang dikenal dengan Coretax System menuai berbagai keluhan dari wajib pajak sejak diimplementasikan pada 1 Januari 2025.

Mulai dari kendala sertifikat digital, pembuatan faktur pajak, hingga gangguan teknis pada server dan antarmuka pengguna, semua menjadi keluhan dari Wajib Pajak di berbagai media sosial.

Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rachmat menilai bahwa peluncuran Coretax tampak tergesa-gesa demi memenuhi target timeline.

"Agaknya pemerintah dalam hal ini DJP memang terkesan memaksakan diri untuk memenuhi target timeline peluncuran pada 1 Januari 2025," ujar Ariawan kepada Kontan.co.id, Minggu (5/1).

Secara prosedural, Ariawan bilang, sebelum mulai meluncurkan aplikasi secara publik, seharusnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalukan uji coba menyeluruh. 

Baca Juga: Coretax Gagal Berjalan Mulus, Aktivitas Bisnis Ikut Terhambat

Meski uji coba pengguna telah dilakukan pada akhir 2024, agaknya feedback dari pengguna belum dijadikan landasan untuk penyempurnaan lebih lanjut sebelum peluncuran Coretax.

Ariawan menjelaskan bahwa idealnya, sebuah sistem digital seperti Coretax memerlukan tahapan pengujian yang matang. Ini termasuk pengujian kapasitas, responsivitas, dan sinkronisasi data yang tampaknya belum dilakukan secara optimal.

Oleh karena itu, masalah-masalah yang muncul di awal peluncuran ini mengindikasikan bahwa Coretax masih jauh dari kata sempurna.

"Ke depan saya yakin masih banyak tantangan dan perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan DJP. Entah itu dari sisi kapasitas server, user interface ataupun user experience, bahkan keamanan sistem," katanya.

Ia menyarankan agar DJP Kemenkeu lebih membuka diri terhadap masukan dari pengguna serta meminta feedback yang luas untuk membantu mengidentifikasi dan memperbaiki kelemahan sistem.

"Kasus-kasus yang ada di lapangan dijadikan data awal untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang dilakukan," imbuhnya.

Segendang sepenarian, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono pun menilai bahwa permasalahan yang ada belakangan ini terkait awal implementasi Coretax tidak terlepas dari sosialisasi yang minim dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan momentum (timing) sosialisasi yang kurang tepat.

Prianto mengatakan, DJP baru menghimbau Wajib Pajak untuk melakukan pengecekan data penanggung jawab (PIC) pada 24 Desember 2024, saat banyak masyarakat dan pengurus perusahaan sedang libur Nataru. Akibatnya, mayoritas staf pajak perusahaan baru mencoba login Coretax mulai 1 Januari 2025.

"Kebingungan Wajib Pajak yang terjadi seminggu terakhir ini tidak terlepas dari persiapan tahapan peluncuran Coretax yang sangat minim," ujar Prianto kepada Kontan.co.id, Minggu (5/1).

Baca Juga: Sistem Pajak Canggih Coretax Meluncur Januari 2025

Prianto menjelaskan bahwa sistem baru Coretax mengusung model impersonating, yang belum pernah diterapkan sebelumnya di aplikasi perpajakan. Ini menambah tantangan bagi wajib pajak dalam beradaptasi.

Ditambah lagi, perubahan mekanisme penghitungan PPN menjadi 12% x 11/12 x nilai transaksi melalui PMK 131/2024 menuntut pelaku usaha untuk memodifikasi teknologi pengakuan penjualannya.

"Mereka harus mengubah aplikasinya dari DPP (Dasar Pengenaan Pajak) berupa harga jual untuk transaksi barang atau nilai penggantian untuk transaksi jasa ke DPP nilai lainnya. Modifikasi aplikasi di pelaku usaha ritel tersebut memerlukan waktu," katanya.

Selain itu, PMK 131/2024 juga tidak memberikan cukup waktu bagi pengusaha untuk menyesuaikan diri dengan rezim PPN yang baru tersebut. Untungnya, DJP menerbitkan Perdirjen Pajak No. Per-1/PJ/2025 sebagai panduan teknis penerapan PMK 131/2024.

"DJP harus meningkatkan sosialisasi dan dampingan ke Wajib Pajaknya. Tujuannya adalah agar para pengusaha dapat segera beradaptasi dengan Coretax dan implementasi PMK 131/2024 di Coretax," tutup Prianto.

Selanjutnya: Periode Nataru, KAI Catat Penjualan Tiket KAI Capai 3,6 Juta Penumpang

Menarik Dibaca: Kejatuhan Pasar Global Terjadi, Robert Kiyosaki Minta Pegang 3 Aset Investasi Ini

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Bond Voyage Mastering Strategic Management for Business Development

[X]
×