Sumber: Kompas.com | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh sejumlah koalisi masyarakat sipil.
Berbeda dengan gugatan-gugatan sebelumnya, kali ini, UU TNI digugat secara materiil.
Gugatan bernomor 197/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh beberapa lembaga dan koalisi masyarakat sipil, yaitu Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta.
Lalu, tiga orang warga sipil juga ikut mengajukan gugatan. Mereka adalah Ikhsan Yosarie, Mochamad Adli Wafi, dan Muhammad Kevin Setio Haryanto.
Baca Juga: Mahkamah Konstitusi (MK) Tolak Uji Materi UU soal Usia Pensiun Guru Jadi 65 Tahun
Pada gugatan ini, ada beberapa pasal yang digugat dan diharapkan bisa ditinjau oleh majelis hakim konstitusi.
Pasal yang digugat ini terkait dengan pengerahan operasi militer selain perang, penempatan perwira di jabatan sipil, hingga batas usia pensiun, dan sistem peradilan militer.
Menurut para pemohon, ada unsur-unsur yang dianggap bermasalah dan berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara Indonesia jika pasal-pasal ini tidak diterjemahkan ulang atau dihapus.
“Misalnya masuk ke urusan otonomi daerah gitu ya, atau urusan pemerintah daerah, atau membantu penanggulangan ancaman siber gitu, dan kami pikir ini penting untuk diuji,” ujar pemohon, perwakilan dari YLBHI, Fadhil Alfathan saat ditemui di Gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa (4/11/2025).
Baca Juga: Mahkamah Konstitusi Tolak Gugatan Pajak Pesangon dan Pensiun
Ia menegaskan, koalisi masyarakat sipil mendorong militer bersikap profesional dalam ranahnya.
Tapi, jika kerja militer melebar ke ranah sipil atau teknis lain, para pemohon meyakini hal ini patut dipertanyakan atau ditolak.
Ramai-ramai Digugat Usai Disahkan
UU TNI yang baru saja direvisi pada 20 Maret 2025 ini sempat ramai digugat ke MK sekitar bulan April 2025.
Baru satu bulan UU ini diresmikan, sudah ada delapan gugatan yang masuk.
Dalam perjalanannya, total ada 11 gugatan UU TNI yang sempat disidangkan di hadapan majelis hakim konstitusi.
Sementara, MK mencatat ada 14 gugatan masuk ke sistem. Semua gugatan ini meminta agar UU TNI diuji formal.
Tapi, belum masuk dalam pokok perkara, setengah gugatan digugurkan karena pemohon dinilai tidak punya kedudukan hukum atau legal standing untuk menggugat UU TNI.
Dalam gugatan yang lama, para pemohon dinilai tidak dapat menguraikan dengan jelas persoalan pertautan antara potensi kerugian dengan adanya dugaan persoalan konstitusionalitas dalam proses pembentukan UU TNI terbaru tersebut.
Hakim menilai uraian pada bagian kedudukan hukum hanya menjelaskan mengenai kerugian para pemohon sebagai masyarakat sipil dan mahasiswa yang kesulitan dalam mengakses informasi mengenai proses pembentukan UU 3/2025.
"Namun tidak dikuatkan dengan uraian dan bukti mengenai kegiatan yang menunjukkan satu pun upaya secara aktif (real action) dari para pemohon dalam proses pembentukan UU 3/2025, misalnya kegiatan seminar, diskusi, tulisan pendapat para pemohon kepada pembentuk undang-undang, ataupun kegiatan lain yang dapat menunjukkan keterlibatan para pemohon dalam proses pembentukan UU 3/2025," ucap hakim konstitusi, Saldi Isra, dalam ruang sidang di MK, Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025).
Usai lima gugatan kandas, enam lainnya masuk ke tahap pemeriksaan dan permintaan keterangan. Selama sidang berlangsung, sejumlah dinamika terjadi.
Baca Juga: MK Tolak Gugatan Hapus Kolom Agama di KTP, Sebut Permohonan Tidak Lazim
Beberapa pemohon diduga mengalami intimidasi dan sempat diteror oleh pihak-pihak tidak dikenal. Bahkan, ada pemohon yang berujung menarik gugatannya karena sejumlah pertimbangan.
Pada akhirnya, ada lima gugatan UU TNI yang sampai tahap terakhir. Namun, semua gugatan ini ditolak oleh hakim konstitusi.
Dalam sidang putusan 17 September 2025, para hakim berpendapat, proses perancangan UU TNI sudah melibatkan partisipasi publik dan bisa diakses informasinya oleh masyarakat.
Hal ini menjadi perdebatan karena proses rapat dan dengar pendapat tidak dilakukan secara terbuka.
Tapi, keputusan untuk menolak gugatan uji formal UU TNI ini tidak bulat di majelis hakim.
Empat dari sembilan hakim konstitusi justru memberikan keputusan mengabulkan secara sebagian untuk gugatan dari koalisi masyarakat sipil ini.
Baca Juga: MK Batalkan UU Tapera, Iuran Wajib Disebut Bebani Pekerja dan Pemberi Kerja
Mereka adalah Suhartoyo, Saldi Isra, Arsul Sani, dan Enny Nurbaningsih.
"Saya tiba pada kesimpulan untuk menyampaikan pendapat berbeda dengan mayoritas hakim yang menyatakan permohonan a quo tidak beralasan menurut hukum," kata Saldi dalam salinan putusan.
Saldi mengatakan, Mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan para pemohon dengan menyatakan proses pembentukan UU TNI mengandung cacat prosedural dan secara bersyarat harus diperbaiki.
Perbaikan yang harus dilakukan adalah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi secara bermakna dalam proses pembentukannya.
"Untuk itu, dipersyaratkan dalam waktu diberikan waktu paling lama dua tahun bagi pembentuk undang-undang memperbaiki proses yang cacat formal dimaksud," kata dia.
Selanjutnya: Bursa Asia Anjlok, Kospi Korsel Rontok Lebih 6% Akibat Kekhawatiran Valuasi Pasar
Menarik Dibaca: Cicilan KPR Berat? Ini Cara Take Over KPR untuk Angsuran Optimal
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













