Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Revisi Undang-Undang Penyiaran terus memantik polemik, salah satunya tumpang tindih (overlapping) pengawasan antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan Dewan Pers.
Revisi beleid ini dianggap overlapping dengan sejumlah aturan, termasuk UU Pers dan UU ITE. Di UU Pers, misalnya, revisi UU Penyiaran memberikan wewenang bagi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mengawasi konten jurnalistik yang selama ini menjadi ranah Dewan Pers berdasarkan UU Pers.
Di sisi lain, KPI juga bakal punya wewenang memverifikasi konten penyelenggara platform digital penyiaran yang sudah diatur di UU ITE.
Baca Juga: Wewenang KPI pada Draft RUU Penyiaran Dinilai Terlalu Besar
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengatakan, pihaknya mencatat ada beberapa pasal dalam draft revisi UU Penyiaran yang bertabrakan atau tumpang tindih dan kontradiktif dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Dewan Pers bersama konstituen menolak revisi RUU ini karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kemerdekaan pers,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (16/5).
Ninik menjelaskan, berdasarkan Daftar Intervensi Masalah (DIM) Revisi UU Penyiaran yang dikeluarkan Dewan Pers, terdapat beberapa poin yang menjadi sorotan pihaknya akibat tumpang tindih antara KPI dan Dewan Pers.
Pada pasal 8A ayat (1) huruf q dalam draft revisi UU Penyiaran menyebut, KPI dalam menjalankan tugas berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang Penyiaran.
Baca Juga: Penolakan Terhadap RUU Penyiaran yang Melarang Investigasi Terus Bergulir
Menurutnya, ini bertentangan dengan UU 40/1999 tentang pers khususnya berkaitan dengan fungsi Dewan Pers sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d yang berbunyi:
“Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers,”.
Berikutnya, di Pasal 34 draft revisi UU Penyiaran menyebut, ayat (1) sengketa yang terjadi atas Penyelenggara Platform Digital Penyiaran dan/atau platform teknologi Penyiaran diselesaikan dengan mediasi.
Kemudian, ayat (2) menyatakan, jika tidak tercapai suatu kesepakatan pada mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyelesaian sengketa dapat dilanjutkan ke pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Baca Juga: Pelaku Jurnalistik Sebut Isi Draf RUU Penyiaran Kekang Kebebasan Pers
Dewan pers mengusulkan tambahan ketentuan baru pada pasal 34. Di mana, jika terjadi sengketa pemberitaan sebagai produk jurnalistik, penyelesaian sengketa melalui mekanisme UU 40/1999.
Poin berikutnya, di pasal 42 draft revisi UU Penyiaran menyebut ayat (1) muatan jurnalistik dalam Isi Siaran Lembaga Penyiaran harus sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3), Standar Isi Siaran (SIS) dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2), penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Pasal ini harus dikaji ulang karena bersinggungan dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengamanatkan penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di Dewan Pers sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d,” kata Ninik.
Baca Juga: Dewan Pers Tegas Tolak Draft RUU Tentang Penyiaran, Ini Alasannya
Ninik menuturkan, setiap sengketa yang berkaitan dengan karya jurnalistik baik penyiaran, cetak, digital (online) lex specialis hanya bisa diselesaikan di Dewan Pers.
Dia melanjutkan, langkah ini guna memastikan bahwa kerja-kerja jurnalistik yang profesional, berkualitas dan bertanggungjawab bisa berlangsung independent serta tidak ada intervensi dari pihak manapun.
“Sengketa karya jurnalistik secara lex specialis yang akan diselesaikan dan berpedoman pada kode etik jurnalistik. Jika terkait produk siaranpun KPI berkoordinasi dengan Dewan Pers akan menyebabkan dualisme penyelesaian sengketa,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News