CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.386.000   -14.000   -1,00%
  • USD/IDR 16.295
  • IDX 7.288   47,89   0,66%
  • KOMPAS100 1.141   4,85   0,43%
  • LQ45 920   4,23   0,46%
  • ISSI 218   1,27   0,58%
  • IDX30 460   1,81   0,40%
  • IDXHIDIV20 553   3,30   0,60%
  • IDX80 128   0,57   0,44%
  • IDXV30 130   1,52   1,18%
  • IDXQ30 155   0,78   0,50%

Pelaku Jurnalistik Sebut Isi Draf RUU Penyiaran Kekang Kebebasan Pers


Rabu, 15 Mei 2024 / 20:25 WIB
Pelaku Jurnalistik Sebut Isi Draf RUU Penyiaran Kekang Kebebasan Pers
ILUSTRASI. Ilustrasi Opini - Gula-gula Kebebasan Pers


Reporter: Aurelia Lucretie | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyiaran yang baru menuai penolakan dari para pegiat pers. Tak terkecuali pelaku pers dengan media siaran platform digital. 

Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Setri Yasra mengatakan, isi RUU Penyiaran tersebut merupakan suatu kemunduran di era teknologi yang mengharuskan karya jurnalistik diturunkan ke bentuk-bentuk yang adaptif terhadap teknologi. Termasuk konten Bocor Alus yang merupakan turunan dari produk jurnalistik yang dimuat dalam Majalah Tempo. 

Dia tegas menolak larangan terhadap penayangan karya jurnalistik investigasi.

"Jadi ketika ada pasal dalam revisi undang-undang itu yang mengatur soal jurnalisme investigasi tidak boleh muncul di platform digital, ini tidak tahu apa yang terbayang dalam pengusulnya, entah pemerintah atau DPR. Karena jurnalisme itu ya basisnya investigasi, apapun, di manapun platform," jelas Setri saat dihubungi Kontan, Rabu (15/5). 

Baca Juga: Kritik RUU Penyiaran, Mahfud MD: Keblinger, Masa Media Tidak Boleh Investigasi

Menurutnya revisi UU Penyiaran tersebut membingungkan. Seharusnya para pembuat kebijakan mendukung produk jurnalistik di platform digital bukan malah menghambat bahkan melarang. 

Setri yakin draft RUU Penyiaran itu bertujuan untuk mengekang dan menyandera kebebasan pers.

"Ini sangat-sangat tidak bisa diterima dan pasti menganggu, pertanyaan berikutnya ada apa?," katanya. 

"Apakah mereka para anggota dewan atau pemerintah yang terkait revisi undang-undang penyiaran mau itu YouTube atau platform digital diisi dengan konten-konten prank atau yang tidak mendidik, atau sanjung-sanjung, itu bukan jurnalistik," tegasnya. 

Menurutnya, apabila negara benar-benar menganggap bahwa pers adalah pilar keempat demokrasi sekaligus lembaga pengawas kekuasaan dan hak publik untuk memperoleh informasi, seharusnya negara mendorong sebebas-bebasnya berbagai produk jurnalistik investigasi masuk ke platform digital. Bukan malah membuat aturan yang sebaliknya. 

Dia juga menyinggung soal tumpang tindih penyelesaian sengketa pers. 

"Bocor Alus dipermasalahkan orang, selama ini diselesaikan di dewan pers, karena apa? Karena wartawan Bocor Alus ya wartawan Majalah Tempo. Kalau nanti ada lembaga baru, bagaimana nanti? Etik pers itu ya Dewan Pers," katanya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×