kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sepanjang 2018, jumlah perkara kepailitan melonjak


Kamis, 27 Desember 2018 / 20:14 WIB
Sepanjang 2018, jumlah perkara kepailitan melonjak
ILUSTRASI. Ilustrasi Simbol Hukum dan Keadilan


Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sepanjang 2018 meningkat signifikan dari tahun sebelumnya. Ini jadi salah satu indikator, ekonomi nasional terguncang.

Dari penelusuran Kontan.co.id, pada lima pengadilan niaga di Indonesia ada 411 perkara, dengan 297 perkara PKPU, dan 194 perkara pailit pada 2018. Sementara pada 2017 tercatat ada 353 perkara dimana 238 merupakan perkara PKPU, dan 115 perkara pailit.

"Kalau mau dicermati lagi, banyak permohonan PKPU maupun pailit yang diajukan oleh kreditur, bukan dari debitr yang mengajukan restrukturisasi secara sukarela. Artinya memang semakin banyak perusahaan kesulitan keuangan," kata Ketua Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) James Purba kepada Kontan.co.id, Rabu (26/12).

Meski demikian, di sisi lain James bilang makin meningkatnya jumlah perkara kepailitan juga menunjukkan bahwa pelaku usaha makin sadar untuk menggunakan jalur hukum dalam merestrukturisasi utang-utang debiturnya.

"Perkara perdata niaga ini lebih efisien dibandingkan perdata biasa yang jika tak terima putusan para pihak bisa banding, kasasi, hingga peninjauan kembali. Misalnya permohonan PKPU harus putus 20 hari, kalau dikabulkan debitur harus siapkan proposal restrukturisasi, jika ditolak krediturnya konsekuensinya pailit," jelasnya.

Ditelisik lebih dalam, perusahaan manufaktur jadi sektor industri yang paling banyak dibawa terjerat. Ada 69 permohonan PKPU, dan 17 permohonan pailit. Perusahaan tekstil, garmen, baja, hingga plastik adalah beberapa sektor yang sering dimohonkan.

Sejatinya secara jumlah, sektor properti juga cukup banyak dimohonkan PKPU maupun pailit. Ada 69 permohonan PKPU dan 22 permohonan pailit.

Namun, jangkauan sektor ini lebih luas, Kontan.co.id mengidentifikasi pengembang, kontraktor sipil, kontraktor listrik, hingga pengelola wisata maupun hotel dalam kategori ini.

Sementara sektor paling minim yang diajukan adalah industri teknologi informasi yang jangkauannya mulai dari perusahaan peranti lunak, penyedia alat dan jasa perangkat teknologi, hingga penyedia internet. Untuk sektor ini, ada 6 permohonan PKPU, dan 3 permohonan pailit.

Terkait hal ini, Aji Wijaya, Managing Director Aji Wijaya & Co yang kerap jadi kuasa hukum debitur dalam perkara kepailitan bilang melimpahnya jumlah perkara sedikit banyak disebabkan krisis harga minyak dan batubara.

"Banyaknya perkara di 2018 dipicu dari krisis harga minyak dan batu bara, yang berimbas pada masalah keuangan yang dihadapi oleh perusahaan minyak dan para kontraktor dan supporting industrinya. Juga di industri mineral. Berikut domino efeknya," katanya kepada Kontan.co.id.

Sementara secara wilayah hukum, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat jadi tempat yang paling banyak menerima permohonan perkara. Ada 191 permohonan PKPU, dan 43 permohonan pailit.

Sementara yang paling sedikit terjadi di Pengadilan Niaga Makassar dengan 10 permohonan PKPU dan 11 permohonan pailit.

Soal ini James dan Aji senada, bahwa sebagai ibukota, banyak perusahaan yang berkantor di Jakarta. Sehingga jika terjadi perkara mesti diselesaikan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Beberapa catatan

Sepanjang 2018, perkara kepailitan juga mencatatkan beberapa kejadian menarik. Misalnya PKPU yang dijalani oleh maskapai penerbangan pelat merah, PT Merpati Nusantara Airlines (Persero).

PKPU Merpati menghabiskan waktu masimum yang diperbolehkan dalam UU 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU yaitu 270 hari. Nilai tagihannya pun tercatat menjadi yang paling besar sepanjang 2018.

Dalam PKPU, Merpati harus merestrukturisasi utang senilai Rp 10,95 triliun. Beruntungnya, PKPU Merpati berakhir damai, Pengadilan Niaga Surabaya mengesahkan proposal restrukturisasi Merpati, meski dalam voting, tak memenuhi kuorum.

Selain Merpati, adapula BUMN lain yang tersangkut perkara kepailitan, yaitu PT Kertas Leces (Persero). Leces dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Surabaya akibat gagal menunaikan proposal restrukturisasi dalam yang disahkan dalam PKPU pada 2015 lalu. Dalam proses kepailitan, tim kurator kepailitan Leces kini tengah melakukan pemberesan aset.

Selanjutnya ada beberapa kasus gagal bayar surat utang korporasi. Pailitnya PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) bermula dari kegagalan melunasi Medium Term Notes (MTN) yang dirilisnya.

Sunprima kemudian mesti menjalani PKPU dengan tagihan senilai Rp 4,09 triliun. Sayangnya dalam voting proposal restrukturisasi, mayoritas kreditur menolak. Sunprima kini berstatus pailit.

Perkara serupa juga menimpa PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA). Induk produsen beras Maknyuss ini kini tengah menjalani PKPU akibat gagal membayar bunga obligasi dan sukuk ijarah Tiga Pilar. Nilai tagihan Tiga Pilar dalam PKPU mencapai Rp 2,25 triliun.

Perkara Tiga Pilar cukup menarik sebab diajukan oleh pemegang obligasi. Nah, dalam UU 8/1995 tentang Pasar Modal tindakan hukum pemegang obligasi mesti melalui wali amanat.

Hal ini pula membuat ada empat permohonan PKPU ke Tiga Pilar. Permohonan pertama dicabut, kedua dan ketiga ditolak, baru pada permohonan keempat permohonan dikabulkan.

Hal serupa juga kini tengah menimpa PT Express Transindo Utama Tbk (TAXI), penyedia Taksi Express ini kini tengah menjalani sidang permohonan PKPU dari Dana Pensiun Mitra Krakatau akibat gagal membayar bunga obligasi Taxi I/2014 ke-16 dan ke-17. Sesuai jadwal, putusan perkara akan dilakukan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 7 Januari 2019.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×