Reporter: TribunNews | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. DPR RI menargetkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset rampung pada 2025.
Kepastian itu muncul setelah rapat evaluasi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025 yang menyepakati RUU Perampasan Aset masuk dalam daftar bersama RUU Kamar Dagang dan Industri (Kadin) serta RUU Kawasan Industri.
Seluruh fraksi bersama pemerintah menyetujui ketiga RUU tersebut dibahas tahun depan.
Meski memiliki tujuan mulia, Guru Besar Universitas Negeri Makassar (UNM) Harris Arthur Hedar mengingatkan ada lima pasal dalam RUU Perampasan Aset yang dinilainya kontroversial dan berpotensi multitafsir.
Baca Juga: RUU Perampasan Aset Ditargetkan Rampung pada Akhir 2025
Ia menilai hal itu dapat menurunkan kepercayaan rakyat terhadap hukum dan negara jika tidak segera diperbaiki.
“RUU ini punya tujuan mulia. Tetapi ada 5 Pasal yang harus dicermati. Karena hukum bisa menjadi menakutkan daripada fungsi melindungi. Ini bisa menurunkan kepercayaan rakyat terhadap hukum dan negara. Sebelum disahkan, sebaiknya pasal-pasal tersebut diperbaiki,” kata Harris, Selasa (16/9/2025).
Harris menyoroti Pasal 2 yang memungkinkan negara merampas aset tanpa menunggu putusan pidana. Menurutnya, aturan ini berisiko menggeser asas praduga tak bersalah.
Pedagang atau pengusaha dengan administrasi lemah bisa dianggap memiliki kekayaan tidak sah. Ia juga menilai Pasal 3 bermasalah karena memungkinkan perampasan aset dilakukan meski proses pidana terhadap seseorang masih berjalan.
Baca Juga: PKS Dorong Pemerintah Ajukan Draft Baru RUU Perampasan Aset
Hal ini, kata Harris, dapat menimbulkan dualisme hukum perdata dan pidana, sekaligus memberi kesan masyarakat dihukum dua kali.
Pasal lain yang dipersoalkan adalah Pasal 5 ayat (2) huruf a, yang menyebut aset bisa dirampas jika jumlah harta dinilai tidak seimbang dengan penghasilan sah. Frasa “tidak seimbang” menurutnya terlalu subjektif.
Seorang petani yang mewarisi tanah tanpa dokumen lengkap bisa dicurigai hanya karena asetnya lebih besar dari penghasilan hariannya.
Harris juga mengkritisi Pasal 6 ayat (1) yang menetapkan aset bernilai minimal Rp100 juta bisa dirampas.
Menurutnya, ambang batas nominal itu bisa salah sasaran, misalnya buruh yang membeli rumah sederhana senilai Rp150 juta justru terjerat aturan, sementara penjahat bisa menghindar dengan memecah aset di bawah Rp 100 juta.
Selain itu, Pasal 7 ayat (1) yang mengizinkan perampasan aset meski tersangka meninggal, kabur, atau dibebaskan dinilai merugikan ahli waris maupun pihak ketiga yang beritikad baik.
“Resikonya, anak-anak bisa kehilangan rumah warisan satu-satunya karena orang tuanya pernah dituduh tindak pidana,” ujarnya.
Baca Juga: Masa Tuntut RUU Perampasan Aset Dibahas, Mendagri: Sudah Masuk DPR
Ia juga menyoroti prosedur perampasan yang membalik beban pembuktian. Setelah aset disita, pihak yang keberatan harus membuktikan harta itu sah.
“Ini kan membalik beban pembuktian ke rakyat. Resikonya rakyat yang tidak paham hukum bisa kehilangan aset karena tidak mampu menunjukkan dokumen formal,” jelasnya.
Harris menyarankan definisi dalam pasal-pasal kontroversial diperjelas dengan ukuran objektif, seperti laporan pajak, standar profesi, atau data ekonomi. Ia menegaskan perlunya perlindungan terhadap pihak ketiga dan ahli waris, agar harta orang beritikad baik tidak dirampas.