Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Prasasti Center for Policy Studies (Prasasti) menilai, pemerintah perlu segera mempercepat eksekusi belanja negara untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional yang masih bergerak moderat.
Di tengah ketidakpastian ekonomi global, kebijakan fiskal melalui percepatan belanja menjadi salah satu instrumen utama untuk menjaga momentum pertumbuhan.
Gundy Cahyadi, Research Director Prasasti, menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia belum menunjukkan perbaikan signifikan pasca mencatat Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 4,87% secara tahunan (YoY) pada kuartal I-2025.
Baca Juga: Anggaran Bansos Meningkat pada 2025, Pertumbuhan Ekonomi Terangkat?
Menurutnya, konsumsi rumah tangga sebagai kontributor utama masih lemah, sementara sektor swasta masih menunggu kejelasan arah kebijakan.
“Momentum pemulihan yang belum solid ini mengindikasikan perlunya kebijakan fiskal yang lebih agresif dalam waktu dekat,” ujarnya dalam keterangan resmi, Senin (14/7).
Hingga akhir Juni 2025, realisasi belanja negara baru mencapai 38,9% dari pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Angka tersebut tertinggal dibandingkan realisasi tahun lalu sebesar 42,0% dan rerata historis 41,2% pada periode 2021–2024.
Perlambatan ini dipengaruhi oleh rendahnya penerimaan negara di awal tahun, sebagai dampak perlambatan ekonomi global serta implementasi sistem perpajakan baru.
Menurut Gundy, situasi ini justru memperkuat urgensi untuk melakukan front-loading atau percepatan realisasi belanja negara pada paruh kedua tahun ini.
Langkah ini penting sebagai kebijakan counter-cyclical guna mendorong permintaan domestik dan kembali menggerakkan sektor swasta.
Baca Juga: BI Diharapkan Kembali Turunkan Suku Bunga untuk Dorong Pertumbuhan Ekonomi
“Dengan konsumsi dan investasi swasta yang masih wait-and-see, sinyal konkret dari pemerintah melalui belanja fiskal sangat dibutuhkan untuk menggerakkan perekonomian,” tegasnya.
Namun, percepatan belanja juga membawa konsekuensi pada pelebaran defisit fiskal. Gundy memperkirakan defisit APBN 2025 bisa melebar melampaui target 2,78% dari PDB dan berpotensi mendekati atau bahkan melebihi batas 3% yang selama ini menjadi acuan kehati-hatian.
Meski begitu, pelebaran defisit tidak selalu berarti negatif, selama diarahkan ke program-program produktif seperti hilirisasi industri, ketahanan pangan, transformasi UMKM, dan perlindungan sosial yang tepat sasaran.
Apalagi, rasio utang Indonesia terhadap PDB masih di bawah 40%, relatif lebih baik dibandingkan banyak negara berkembang.
“Sentimen pasar terhadap Indonesia tetap positif. Tercermin dari arus masuk dana asing sebesar Rp 42 triliun ke pasar obligasi pemerintah sepanjang Januari–Juni 2025,” kata Gundy.
Baca Juga: Target Pertumbuhan Ekonomi 2026 Oleh Pemerintah Dinilai Tak Sesuai Realitas Ekonomi
Pemerintah juga dinilai perlu terus memperkuat penerimaan negara melalui intensifikasi perpajakan, perbaikan kepatuhan, serta evaluasi terhadap efektivitas insentif fiskal yang ada.
Komunikasi publik yang transparan mengenai strategi pengelolaan fiskal dan arah kebijakan belanja akan menjadi faktor penting dalam menjaga kepercayaan publik dan investor.
Prasasti menegaskan bahwa kehati-hatian fiskal tetap penting, namun dibarengi dengan keberanian mengambil langkah strategis dalam menghadapi tekanan jangka pendek.
Percepatan belanja negara bukan hanya respons sesaat, tetapi bagian dari upaya memperkuat fondasi ekonomi dan penerimaan fiskal di masa depan.
Selanjutnya: Sharp Indonesia Waspadai Limpahan Barang Murah Imbas Tarif AS
Menarik Dibaca: Bitcoin di Atas US$ 120.000, Robert Kiyosaki Bilang Ini Saat Terbaik Menjadi Kaya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News