Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Rencana pemerintah membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) dipandang sebagai salah satu agenda prioritas Presiden Prabowo Subianto.
Hal tersebut disampaikan langsung oleh Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan, yang menilai gagasan pembentukan BPN sudah terlihat sejak Prabowo masih berstatus calon presiden.
"Keinginan Prabowo membentuk BPN sebagai single revenue agency yang mengonsolidasikan fungsi pengumpulan penerimaan negara ke dalam satu institusi yang fokus pada penerimaan sudah terlihat sejak ia menjadi calon presiden," ujar Ariawan kepada Kontan.co.id, Rabu (17/9).
Meski demikian, Ariawan menekankan bahwa BPN bukanlah keharusan mutlak. Efektivitas lembaga baru tersebut sangat bergantung pada desain kelembagaan, mandat hukum, sumber daya manusia, serta fase transisi yang dijalankan pemerintah.
Baca Juga: Badan Penerimaan Negara Muncul dalam RKP 2025
"Artinya, pembentukan badan baru ini bukan jaminan otomatis untuk peningkatan penerimaan. Banyak PR besar yang mesti dikerjakan," katanya.
Jika berhasil, BPN akan menjadi lembaga yang fokus dan spesialis pada penerimaan negara, baik pajak maupun non pajak. Dengan demikian, indikator kinerja (KPI) hingga budaya organisasi dapat diarahkan sepenuhnya pada optimalisasi penerimaan dan kepatuhan.
Ariawan menambahkan, kehadiran BPN juga akan mempermudah sinkronisasi antara pajak dan cukai, integrasi data, hingga memperkuat intelijen penerimaan.
Lebih jauh, pemisahan fungsi pengumpulan penerimaan dari pengelolaan belanja juga diyakini dapat menciptakan arm’s-length function yang lebih sehat.
"Dengan demikian, prioritas pemerintah menaikkan tax ratio, bisa mempercepat reformasi perpajakan jika disertai mandat kuat," katanya.
Namun, Ariawan mengingatkan sejumlah tantangan besar. Pertama, fase persiapan desain kebijakan dan hukum.
Kedua, reorganisasi besar-besaran dengan memindahkan Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai dari Kementerian Keuangan, yang membutuhkan biaya dan sumber daya besar.
Ketiga, risiko terganggunya layanan perpajakan yang bisa menekan penerimaan dalam jangka pendek. Keempat, dukungan politik dan hukum yang solid antara eksekutif dan legislatif.
Kelima, potensi penyalahgunaan kewenangan jika pengawasan independen lemah.
"Terlepas dari itu semua, kemunculan wacana pembentukan BPN yang sudah sering muncul dan tenggelam beberapa tahun ini, perlu kita tanggapi dengan semangat positif dengan harapan kemunculan Lembaga ini menjadi antitesis dari setiap harapan bahwa pajak akan menjadi instrumen pendapatan negara yang berkeadilan, bermartabat dan berkepastian hukum bagi seluruh rakyat indonesia," pungkasnya.
Untuk diketahui, rencana pembentukan BPN di era Presiden Prabowo Subianto semakin menguat.
Pasalnya, Prabowo melakukan pemutakhiran rencana kerja pemerintah (RKP) 2025 yang telah disusun pemerintahan Presiden ke-7 Joko Widodo.
Kini, pembentukan BPN masuk ke dalam RKP 2025, yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah (Perpres) Nomor 79 Tahun 2025.
Dengan adanya pemuktahiran tersebut, sejumlah konten dalam Perpres Nomor 109/2024 yang diteken Jokowi berubah. Salah satu perubahan ada dalam program hasil cepat RKP 2025.
Dalam beleid tersebut, Prabowo memasukkan rencana pembentukan BPN dalam RKP 2025.
Sebelumnya, dalam perpres yang diteken Jokowi, rencana pembentukan BPN tersebut tidak dicantumkan, melainkan hanya menyebutkan rencana optimalisasi penerimaan negara.
"Mendirikan Badan Penerimaan Negara dan meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) ke 23%," tulis beleid tersebut.
Baca Juga: Nusron Wahid Klarifikasi dan Minta Maaf soal Polemik Kepemilikan Tanah di Indonesia
Selanjutnya: BI Sudah Borong SBN Rp 217,10 Triliun Hingga 16 September 2025
Menarik Dibaca: Bank Mandiri Gelar Livin' Fest 2025, Hadirkan UMKM Hingga K-Pop
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News