Reporter: Indra Khairuman | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Dalam enam bulan pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, Indonesia menghadapi tantangan ekonomi yang semakin kompleks, dengan penerimaan negara mengalami penurunan, nilai tukar rupiah pun melemah, dan daya beli masyarakat juga terus menurun.
Wijayanto Samirin, Ekonom Universitas Paramadina, menjelaskan bahwa dalam enam bulan pemerintahan Prabowo, tantangan fiskal menjadi salah satu isu utama. Ia menyatakan bahwa penerimaan negara yang seharusnya meningkat 10% dibandingkan kuartal I tahun lalu, justru anjlok sebesar 16,7%.
“Belum lagi tahun ini penerimaan dari dividen BUMN yang ditargetkan 90 triliun itu hilang karena masuk Danantara,” ujar Wijayanto dalam acara diskusi yang bertajuk Enam Bulan Pemerintahan Prabowo: The Extraordinary, The Good, The Bad, and The Ugly, Kamis (17/4).
Ini menandakan bahwa pemerintah perlu segera mencari solusi untuk meningkatkan penerimaan negara demi mendukung program-program yang telah direncanakan.
Baca Juga: Prabowo akan Bentuk 80.000 Kopdes Merah Putih, Begini Kata Pelaku Koperasi
Tidak hanya tantangan fiskal yang perlu diperhatikan, tapi juga nilai tukar rupiah. Meski ada pandangan optimis bahwa depresiasi rupiah terhadap USD tidak terlalu signifikan, kenyataannya rupiah telah melemah terhadap hampir 78% mata uang dunia dalam enam bulan terakhir.
“Sumber utama capital inflow kita itu sedang bermasalah,” katanya.
Dalam situasi seperti ini, pemerintah perlu merancang strategi untuk memperkuat nilai tukar dan menarik kembali investasi asing.
Deindustrialisasi dini juga menjadi tantangan yang tak bisa diabaikan. Sektor manufaktur Indonesia mengalami penurunan, dengan kontribusi terhadap GDP hanya mencapai 18,6%. Namun, jika CPO yang diakui sebagai produk manufaktur dikeluarkan, kontribusinya turun menjadi sekitar 16%.
“Kita mengalami deindustrialisasi ini ketika GDP per kapita masih rendah,” ucap Wijayanto.
Pemerintah harus memfokuskan perhatiannya pada pengembangan sektor manufktur untuk meningkatkan daya saing dan menciptakan lapangan kerja.
Maslaah daya beli masyarakat dan tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) juga menjadi sorotan. Data menunjukkan bahwa meskipun angka PHK yang dilaporkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan dapat dipercacya, banyak kasus yang tidak terlaporkan.
“Data BPJS ketengakerjaan saja tahun lalu sekitar 250 ribu yang menarik uang, karena pasti PHK,” jelasnya.
Penurunan daya beli ini berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi, di mana konsumsi menyumbang 60% dari GDP.
Baca Juga: Prabowo akan Bentuk Satgas Deregulasi, Mendag Bakal Perbaiki Kebijakan Ekspor-Impor
Menghadapi tantangan-tantangan ini, pemerintah perlu melakukan deregulasi yang lebih efektif dan merespons kondisi ekonomi dengan kebijakan yang kontrasiklikal.
“Ketika ekonomi sulit, program kebijakan pemerintahan kita, itu justru prosiklikal, memperburuk keadaan, bukan kontrasiklikal,” tambahnya.
Dengan melakukan realokasi anggaran ke proyek-proyek yang dapat langsung meningkatkan daya beli masyarakat, diharapkan ekonomi dapat pulih lebih cepat.
Wijyanto mengingatkan bahwa penting bagi pemerintah untuk membentuk tim yang solid dan efisien. Karena jumlah Menteri kit aitu ada 58, jika ditambah Wakil Menteri itu menjadi lebih dari 100.
Dengan jumlah kementerian yang terlalu banyak, efektivitas dalam pengambilan Keputusan bisa terhambat. Maka itu, perlu adanya penyederhanaan struktur kabinet sebagai langkah strategis untuk mempertimbangkan peningkatan kinerja pemerintahan.
Selanjutnya: Intip Top Losers LQ45 saat IHSG Naik Hari Kamis (17/4), Ada Saham BBTN, ACES, & KLBF
Menarik Dibaca: Hujan Petir Melanda Daerah Ini, Berikut Prediksi Cuaca Besok (18/4) di Jawa Timur
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News