Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Implementasi pajak kekayaan atau pajak untuk orang super kaya (crazy rich) Indonesia tampaknya bisa menjadi solusi bagi Presiden Terpilih Prabowo Subianto untuk mendanai program unggulannya, yakni program makan bergizi gratis atau yang dulu dikenal makan siang gratis.
Pasalnya, potensi penerimaan pajak dari para crazy rich Indonesia sangat besar.
Berdasarkan perhitungan The PRAKARSA, potensi pajak kekayaan yang dikenakan pada orang kaya dan super kaya (HNWI) dengan kekayaan bersih di atas Rp 144 miliar dapat memberikan tambahan penerimaan negara berkisar antara Rp 54 triliun hingga Rp 155 triliun untuk sekali pengenaan.
Baca Juga: Crazy Rich Indonesia Terus Meningkat, Pajak Kekayaan Global Perlu Diterapkan
Tentu angka tersebut lebih dari cukup untuk mendanai program makan siang gratis yang diperkirakan menelan anggaran Rp 71 triliun pada tahun pertama pelaksanaannya.
Dengan potensi penerimaan pajak kekayaan tersebut, maka pemerintah tidak perlu memangkas beberapa pos anggaran mulai dari subsidi hingga pendidikan.
Sependapat, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai bahwa penerapan pajak kekayaan di Indonesia bisa menjadi solusi pendanaan untuk menjalakan program makan siang gratis.
"(Rp 155 triliun) itu hitungan teman-teman dari PRAKARSA. Betul, bisa menjadi salah satu solusi pendanaan makan siang gratis," ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Jumat (26/7).
Hanya saja, menurut Fajry, kebijakan tersebut akan sulit diimplementasikan di Indonesia. Memang, kesepakatan perpajakan multilateral dapat diakomodasi dalam Pasal 32 UU HPP.
Baca Juga: Faisal Basri Risau Wacana Family Office Jadi Sarang Pencucian Uang
Namun, Fajry menyebut, masih perlu legislasi di tingkat domestik yang dapat menjadi payung hukum pengenaan pajak atas net wealth bagi orang super kaya.
Mengingat kebijakan tersebut akan menjadi pungutan baru, berdasarkan pengalaman yang sudah ada, pengenaan pajak kekayaan 2% akan sulit direalisasikan.
"Dari segi feasibility dari kebijakan, sulit untuk direalisasikan. Saat pembahasan UU HPP ada yang mengajukan namun tertolak," katanya.
Di samping itu, ada hal teknis lainnya seperti data beneficial ownership (BO) yang masih menjadi pekerjaan rumah.
Tak hanya di Indonesia, tetapi juga antara yurisdiksi.
"Selama hal tersebut belum terselesaikan maka implementasi wealth tax kemungkinan besar akan berhasil di awal-awal implementasi saja (jangka pendek)," imbuh Fajry.
Baca Juga: Pemerintahan Baru Harus Berani Menyigi WP Kaya
Sebagai tambahan, pajak kekayaan menjadi salah satu pembahasan dalam pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral (FMCBG) di Sao Paulo, Brazil.
Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen menilai bahwa penerapan pajak bagi orang super kaya ini masih belum diperlukan.
"Kebijakan pajak sangat sulit untuk dikoordinasikan secara global dan kami tidak melihat adanya kebutuhan untuk menegosiasikan kesepakatan tersebut (pajak kekayaan)," ujar Yellen seperti dikutip Reuters, Jumat (26/7).
Ketimbang menerapkan pajak kekayaan global, Yellen menyarankan bahwa negara-negara sebaiknya berfokus untuk memastikan meningkatkan keadilan dan progresivitas dari sistem pajak yang berlaku di negara masing-masing.
Baca Juga: Apa itu Old Money? Pengertian, Ciri-ciri, dan Perbedaan dengan New Money
"Kami sangat mendukung perpajakan progresif dan membuat orang-orang superkaya membayar pajak sesuai porsi mereka," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News