Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID- JAKARTA. Lembaga Penelitian The Prakarsa menilai bahwa Indonesia perlu menerapkan pajak kekayaan sebagai bagian dari ekstensifikasi pajak.
Seperti yang diketahui, pajak kekayaan global sebesar 2% merupakan salah satu pembahasan dalam pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral (FMCBG) di Sau Paulo, Brazil.
Direktur Eksekutif The Prakarsa m Ah Maftuchan mengatakan penerapan pajak kekayaan gloal merupakan bagian dari upaya menciptakan keadilan pajak dan keadilan ekonomi.
Baca Juga: Celios: Indonesia Butuh Rp 892 Triliun untuk Ekonomi Restoratif hingga 2045
Menurutnya, implementasi pajak kekayaan semakin menemukan relevansinya di tengah krisis ekonomi global yang diakibatkan krisis iklim, perang, ekses pandemi Covid-19 dan pertarungan dagang antarnegara.
Di tengah situasi sulit tersebut, ironisnya, justru jumlah orang super kaya High Net Worth Individual (HNWI) bertambah dan jumlah kekayaan HNWI lama meningkat di masa krisis.
Kondisi tersebut juga terjadi di Indonesia. Uchan, nama sapaannya mengungkapkan, jumlah orang Indonesia dengan nominal kekayaan di atas US$ 1 juta hampir 172.000 orang pada 2020. Angka ini meningkat 62% dibandingkan tahun 2019.
Sementara berdasarkan data Forbes pada 2022, total gabungan aset bersih 50 orang terkaya di Indonesia meningkat 22%, yakni dari US$ 133 miliar atau sekitar Rp 1.938 triliun pada tahun 2020 menjadi US$ 162 miliar atau sekitar Rp 2.324 triliun pada tahun 2021.
"Hampir setara dengan total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia pada tahun 2020," ujar Uchan kepada Kontan.co.id, Kamis (25/7).
Baca Juga: Pemerintah Melihat Ada Peluang Pengenaan Cukai untuk Hobi Orang Kaya
Menurutnya, pajak kekayaan bisa menjadi opsi sumber pendapatan domestik dan dapat mendongkrak pendapatan negara secara signifikan guna mendanai program sosial, menciptakan pemerataan ekonomi dan mendanai program pembangunan lainnya.
Berdasarkan perkiraan yang disajikan oleh Universitas Greenwich, Perancis, menunjukkan bahwa pajak progresif atas kekayaan bersih dapat menghasilkan pendapatan antara 3% dan 10,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Uchan juga melakukan perhitungan potensi penerimaan apabila Indonesia menerapkan pajak kekayaan 2%. Dirinya membagi empat opsi perhitungan dengan menggunakan asumsi sekitar 4.600 orang Indonesia memiliki kekayaan di atas US$ 10 juta atau Rp 144 miliar.
Pertama, dengan tax-rate flat 1%, maka potensi penerimaan pajak yang bisa dikumpulkan oleh pemerintah adalah sebesar Rp 54 triliun.
Dengan menggunakan data Forbes, olahan penelitian mengestimasi penerimaan pajak sekitar Rp 27,9 triliun dari 100 orang terkaya di Indonesia. Sedangkan sisanya akan berkontribusi sejumlah Rp 26,2 triliun.
Baca Juga: Faisal Basri Risau Wacana Family Office Jadi Sarang Pencucian Uang
"Apabila disandingkan dengan realisasi penerimaan pajak Indonesia pada 2021, maka pajak kekayaan model ini akan berkontribusi sebesar 4,23% dari total penerimaan pajak," kata Uchan.
Kedua, jika tax rate 2%, maka potensi penerimaan yang bisa dikumpulkan adalah Rp 86,6 triliun, di mana golongan 100 orang terkaya akan menyumbang sebesar Rp 55,7 triliun dan sisanya akan menyumbang sebesar Rp 30,9 triliun.
"Melalui hasil ini, pajak kekayaan senilai 6,78% dari realisasi penerimaan pajak pada 2021," terangnya.
Ketiga, apabila menggunakan pajak progresif (1% hingga 2%), potensi penerimaan pajak yang didapatkan adalah Rp 78,5 triliun. Di mana 100 orang terkaya menyumbang Rp 60,2 triliun dan yang lainnya akan membayar Rp 18,4 triliun. Jumlah ini setara 6,15% dari realisasi penerimaan pajak pada tahun 2021.
Keempat, dengan menggunakan pajak progresif (1,5% hingga 4%), maka potensi penerimaan pajak yang masuk ke kas negara adalah Rp 155,3 triliun. Nah, golongan 100 orang terkaya membayar Rp 123,4 triliun dan golongan di bawahnya menyumbang sebesar Rp 31,9 triliun.
Baca Juga: Penerapan Family Office Belum Tentu Beri Dampak Ekonomi
Dengan pajak progresif ini setara 12,15% dari realisasi penerimaan pajak Indonesia tahun 2021.
Uchan menambahkan, pajak kekayaan dikenakan terhadap kekayaan bersih dari total gabungan aset, termasuk tabungan bank, deposito, saham, waran, surat berharga, sukuk, logam mulia, donasi, warisan, mata uang kripto dan hibah.
"Pajak kekayaan dikenakan sebanyak satu kali dalam setahun kepada wajib pajak atau pihak yang mewakili keluarga HNWI," imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News