Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Optimisme di sektor konsumsi dan produksi semakin melemah. Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia (BI) menunjukkan Indeks Penjualan Riil (IPR) Agustus 2025 berada di level 221,7, turun 0,3% dibanding Juli.
Penurunan ini menandai tren pelemahan yang berlangsung lima bulan berturut-turut sejak April 2025.
Tekanan terbesar datang dari kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang indeksnya turun ke level 309,1 pada Agustus atau melemah 0,5% secara bulanan.
Penurunan juga terjadi di kelompok peralatan informasi dan komunikasi, yang sepanjang tahun ini nyaris selalu merosot, kecuali pada Maret saat Ramadan dan Juni saat musim libur.
Baca Juga: Survei BI Juli 2025: Ekspektasi Konsumen Terhadap Ekonomi Enam Bulan ke Depan Naik
Secara tahunan, IPR masih tumbuh 2,7%. Namun, angka tersebut lebih rendah dibanding pertumbuhan Juli yang mencapai 4,7%. Beberapa kelompok justru mengalami kontraksi, seperti peralatan informasi dan komunikasi yang anjlok 17% (year on year/yoy).
Sementara kelompok makanan, minuman, tembakau, dan perlengkapan rumah tangga tercatat tumbuh, tetapi dengan laju yang melambat.
Survei BI juga mencatat ekspektasi penjualan tiga hingga enam bulan ke depan ikut menurun.
Baca Juga: Survei BI Mei 2025: Ekspektasi Konsumen Terhadap Ekonomi Enam Bulan ke Depan Turun
Indeks Ekspektasi Penjualan (IEP) Oktober 2025 diperkirakan melemah akibat turunnya permintaan, sedangkan IEP Januari 2026 berkurang karena berakhirnya momentum Natal dan Tahun Baru.
Keyakinan Konsumen Melemah
Pelemahan penjualan eceran sejalan dengan melemahnya konsumsi rumah tangga. Survei Konsumen BI mencatat Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Agustus 2025 sebesar 117,2, yang merupakan level terendah dalam hampir tiga tahun, setara dengan September 2022.
Faktor utama penyebab penurunan adalah pesimisme terhadap ketersediaan lapangan kerja. Indeks komponen ini sudah berada di bawah level 100 sejak Mei 2025.
Ekonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai penurunan keyakinan terutama terasa pada kelompok menengah bawah.
Baca Juga: Tarif Trump akan Tekan Ekonomi Indonesia, Target Pertumbuhan 5,2% Jadi Berat
"Tekanan inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok membuat konsumen mengurangi belanja non-esensial. Ini berdampak langsung pada penjualan eceran dan memicu prediksi perlambatan lebih lanjut pada Oktober 2025 dan Januari 2026," ujarnya kepada *Kontan*, Kamis (11/9).
Menurut Yusuf, pelemahan konsumsi dan penjualan eceran berimplikasi besar pada tenaga kerja. Sektor ritel dan konsumsi rumah tangga berkontribusi sekitar 50%–60% terhadap produk domestik bruto (PDB) sekaligus menyerap jutaan pekerja, terutama di sektor UMKM.
Jika kontraksi berlangsung lama, perusahaan bisa memangkas tenaga kerja, mengurangi jam kerja, atau menahan rekrutmen baru. Kondisi ini meningkatkan risiko ketimpangan sosial.
Baca Juga: Tumbuh Lambat, Ekonomi Indonesia Membikin Cemas
"Perlambatan konsumsi menandakan pelemahan pertumbuhan ekonomi. Jika tidak ada stimulus untuk menjaga daya beli, target pertumbuhan berisiko turun di bawah 5%," jelas Yusuf.
Ia menyarankan langkah antisipatif berupa insentif untuk UMKM atau bantuan langsung tunai. Sementara itu, stabilitas inflasi yang diperkirakan BI memberi ruang bagi kebijakan moneter yang lebih longgar guna meredam perlambatan.
Selanjutnya: Kemkeu Susun Insentif Pengganti Tax Holiday
Menarik Dibaca: Promo JSM Superindo 12-14 September 2025, Telur Ayam Kampung-Sosis Keju Harga Spesial
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News