kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.308.000 -0,76%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengamat pesimis laju ekonomi 5,2%, ini alasannya


Selasa, 11 Juli 2017 / 23:48 WIB
Pengamat pesimis laju ekonomi 5,2%, ini alasannya


Reporter: Choirun Nisa | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Langkah pemerintah mengejar laju pertumbuhan 5,2% tahun ini bisa dibilang tak mudah. Mengingat dari sisi konsumsi masyarakat yang dibilang cenderung menurun.

Dalam hasil survei Bank Indonesia (BI) bulan Juni 2016, indeks keyakinan konsumen (IKK) menurun 3,5 poin dari 125,9 di Bulan Mei menjadi 122,4.

Melemahnya IKK pada Juni 2017 terjadi di 7 kota, dengan penurunan indeks terbesar terjadi di Makassar (-18,8 poin) dan Banten (-14,3 poin). Berdasarkan tingkat pengeluaran, penurunan IKK terbesar terjadi pada kelompok responden dengan tingkat pengeluaran Rp3-4 juta per bulan.

Selain itu, indeks kondisi ekonomi saat ini (IKE) pun turun 1.3 poin menjadi 113.7 dan indeks ekspektasi konsumen (IEK) turun 5.9 poin menjadi 131.

Penurunan IKE Juni sebesar 1,3 poin disebabkan oleh melemahnya persepsi konsumen terhadap ketersediaan lapangan kerja, sebagaimana ditunjukkan oleh indeks ketersediaan lapangan kerja saat ini yang turun 8,3 poin dibandingkan bulan sebelumnya.

Penurunan IKE pada Juni 2017 ini terjadi di 6 kota, dengan penurunan indeks tertinggi terjadi di Ambon (-21,7 poin) dan Banten (-16,2 poin). Berdasarkan tingkat pengeluaran, penurunan IKE terbesar terjadi pada kelompok responden dengan pengeluaran Rp3-4 juta per bulan.

Meski menurun, penghasilan pada Juni ini meningkat 3 poin menjadi 127. Menurut hasil survei yang dirilis Bank Indonesia, hal ini mengindikasikan bahwa penghasilan membaik ini didorong oleh penerimaan Tunjangan Hari Raya (THR) dan meningkatnya pendapatan usaha. Kenaikan ini seiring dengan naiknya indeks ketepatan pembelian barang tahan lama sebanyak 1,5 poin.

Melihat hal ini, pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada Revrison Baswir menyatakan, penurunan indeks konsumen bulan Juni disebabkan turunnya daya beli masyarakat.

"Masyarakat membelanjakan cukup banyak, apalagi bertepatan dengan hari lebaran dan memasuki tahun ajaran baru. Hal ini membuat masyarakat menahan diri untuk pengeluaran yang harus dikeluarkan di bulan Juli sehingga wajar jika (indeks konsumen) menurun," ujar Revrison pada KONTAN, Selasa (11/7).

Senada dengan Revrison, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menyatakan, pendapatan masyarakat berdampak signifikan terhadap daya beli masyarakat.

"Ketika pendapatan masyarakat tidak meningkat, sementara harga kebutuhan pokok justru naik, seperti listrik dan LPG, maka masyarakat mengorbankan kebutuhan sekunder dan tersiernya. Hal ini menyebabkan ekspektasi konsumen pun menurun," jelas Enny ketika dihubungi KONTAN.

Lebih lanjut, Enny menjelaskan, jika kondisi ini berlanjut, maka pertumbuhan ekonomi di triwulan kedua tidak akan berbeda jauh dari triwulan pertama, yakni 5,01%.

"Pertumbuhan konsumsi rumah tangga tak lebih dari 5%, ritel pun baru sampai 4%. Jika ritel tumbuh 6-7%, mungkin bisa sesuai prediksi pemerintah tumbuh 5,2%, tapi kenyataannya kan tidak. Masih mungkin ada kenaikan, tetapi tidak mungkin sampai angka 5,2%," ujarnya.

Senada, Revrison memperkirakan, hingga akhir tahun 2017 nanti pertumbuhan ekonomi Indonesia akan stagnan dan cenderung melemah. Hal ini, menurutnya, karena konsumsi masyarakat yang terus melemah.

"Meski belanja modal pemerintah meningkat, pertumbuhan ekonomi tidak akan meningkat karena sumbangan terbesar pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi masyarakat," jelas Revrison.

Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, Menurut Revrison, pemerintah harus serius dalam penanggulangan kesenjangan yang pernah mereka bicarakan. Hal ini menurutnya adalah karena daya beli paling tinggi dilakukan oleh masyarakat kalangan bawah.

"Ketika kesenjangan bisa dikurangi, maka daya beli masyarakat akan meningkat. Jika dua hal ini tercapai, maka daya beli masyarakat dapat meningkat."

Sementara itu, menurut Enny, untuk meningkatkan daya beli masyarakat, pemerintah jangan membuat kebijakan yang aneh untuk masyarakat, misalnya harga kebutuhan pokok yang stabil kamuflase, dan pemerintah membuat sektor yang dapat membuka lapangan pekerjaan.

"Untuk konsumsi itu kan butuh pendapatan, maka harus ada pekerjaan. Jangan hanya pengangguran terbuka bergeser sedikit, tetapi ditangani dengan pekerjaan yang benar yang dibuka pemerintah," tutup Enny dalam keterangannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×