Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penerimaan pajak dalam rangka impor (PDRI) terpantau loyo sampai dengan akhir bulan lalu. Hal ini terjadi karena harga dan volume atas barang-barang impor dalam tren penurunan.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang diterima Kontan.co.id, sampai dengan akhir November 2019 realisasi penerimaan pajak dalam rangka impor sebesar Rp 209,58 triliun. Angka ini turun 6,68% dari periode sama tahun lalu sebesar Rp 223,6 triliun.
Realisasi kumulatif itu terdiri dari tiga komponen pajak impor, pertama Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Impor di mana mencatat realisasi penerimaan sepanjang Januari-November sebesar Rp 155,85 turun 7,82% year on year (yoy).
Baca Juga: Duh, Rapor Penerimaan Pajak di Tahun Ini Buruk
Selanjutnya, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Impor merogoh realisasi hanya Rp 49,36 triliun, terkoreksi 1,38% yoy. Kemudian, penerimaan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPNBM) Impor sebesar Rp 4,37 triliun, tumbuh 14,08% yoy.
Untuk PPh Pasal 21 dan PPN Impor tren penurunan sudah terjadi sejak Oktober 2019. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati berdalih moderasi aktivitas impor jadi biang kerok, sehingga menyebabkan nilai impor berkurang. Apalagi ditambah dengan masih lemahnya harga komoditas di pasar global.
Dus, hal tersebut menjadi penyebab kontraksi penerimaan PPh minyak dan gas (Migas) serta terhadap sektor pertambangan. Di sisi lain, penurunan kegiatan impor berdampak langsung terhadap output produksi karena sebagian besar komoditas impor adalah bahan baku dan barang modal.
Baca Juga: Penerimaan pajak seret, shortfall pajak diperkirakan mencapai Rp 200 triliun?
Direktur Peraturan Perpajakan II Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu Yunirwansyahmengatakan pada dasarnya impor dipengaruhi oleh barang konsumsi, barang bahan baku atau penolong, dan barang modal.
Hanya saja bisa PPh Pasal 22 Impor masih bisa tertolong dengan koreksi tidak sedalam PPN Impor lantaran kenaikan tarif. “PPh Pasal 22 Impor untuk barang konsumsi bisa jadi pengaruh dari kebijakan menaikkan tarif,” kata Yunirwansyah kepada Kontan.co.id, Rabu (18/12).
Beleid tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 110/PMK 0.10/2018 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembiayaan Atas Penyerahan Baran dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain.
Aturan yang telah berlaku sejak September 2018 ini menetapkan tarif PPh Pasal 22 Impor menjadi 10%terhadap 500 barang konsumsi yang diimpor.
Baca Juga: Tenggat waktu tinggal empat hari, draf RUU Omnibus Law Perpajakan belum kelar
Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan secara umum nilai impor sepanjang Januari-November 2019 sebesar US$ 156,22 miliar. Angka ini terkoreksi 9,87% dibandingkan periode sama tahun lalu senilai US$ 173,34 miliar.
Ekonom Maybank Kim Eng Sekuritas Luthfi Ridho menilai realisasi pajak impor melemah karena harga dan volume impor Migas jatuh. Alhasil value migas tidak sebaik tahun lalu.
Adapun, impor migas pada Januari-November 2019 tercatat sebesar US$ 19,75 miliar, mengecil 29% dibanding periode sama tahun lalu sebesar US$ 27,84 miliar. Sementara, dalam periode itu volume impor Migas turun 18,38% secara tahunan.
“Penerimaan negara kemungkinan turun lagi karena sektor Migas, baik dari sisi PPh, PPN, hingga bagi hasil minyak yang masuk dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP),” kata Luthfi kepada Kontan.co.id, Rabu (18/12).
Baca Juga: Ekonom Indef: Omnibus law cipta lapangan kerja harus punya konsep yang jelas
Sebagai gambaran rata-rata harga minyak mentah jenis Brent di pasar global sepanjang bulan November sebesar US$ 61,33 per barel. Sementara, hari ini ditutup di level US$ 65,57 per barel, melemah 0,5% dibanding harga kemarin.
Proyeksi Luthfi, dengan berbagai sentimen global harga komoditas langganan impor Indonesia ini bisa turun sampai ke level US$ 60 per barel sampai akhir tahun 2019.
Di sisi lain, penerimaan pajak dari PPNBM impor nyatanya juga tersandung jumlah impor ilegal yang masih marak terjadi. Sejak awal tahun hingga 12 Desember 2019 perkiraan nilai Barang Hasil Penindakan (BHP) dari impor mencapai Rp 3,804 triliun.
Direktur Jendaral (Dirjen) Bea dan Cukai Kemenkeu Heru Pambudi tidak memungkiri sebagian penyelundupan impor berasal dari barang-barang mewah.
Padahal secara prosedural importir harus membayar biaya administrasi satu hingga dua kali lipat nilai impor. Artinya, dari perkiraan nilai BPH, total kerugian negara sekitar Rp 7,608 triliun-Rp 11,412 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News