Reporter: Bidara Pink | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah kembali ke zona positif pada kuartal II-2021. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, perekonomian periode April 2021 hingga Juni 2021 tumbuh 7,07% yoy.
Pertumbuhan tersebut seiring dengan produk domestik bruto (PDB) Indonesia atas dasar harga berlaku yang tercatat Rp 4.175,8 triliun. Kemudian, bila dilihat atas dasar harga konstan tercatat Rp 2.772,8 triliun.
Meski pertumbuhan ekonomi berhasil meroket pada kuartal II-2021, belum berarti Indonesia sudah kembali ke level pra pandemi Covid-19. Pasalnya, beberapa lembaga melakukan perbandingan, dan hasilnya Indonesia masih berada di posisi bontot urutan negara yang mendekati level pra pandemi Covid-19.
Sebut saja The Economist lewat indeks kenormalan global atau the global normalcy index yang diupdate per 10 Agustus 2021, menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke 47 dari 50 negara yang akan kembali ke kondisi normal atau sebelum pandemi Covid-19, dengan indeks 48,1.
Baca Juga: Ekonom BCA: Populasi penduduk dan infrastruktur jadi penopang ekonomi Pulau Jawa
Survei The Economist ini mencakup 50 negara dengan perekonomian terbesar yang menyumbang 90% dari PDB global dan 76% dari populasi global.
Ukuran yang dipakai ada 3 kelompok, yaitu terkait transportasi dan perjalanan (transportation and travel) seperti transportasi publik di kota-kota besar, jumlah perjalanan dalam kota, dan jumlah penerbangan internasional dan domestik.
Ukuran kedua adalah terkait rekrasi dan hiburan (recreation and entertainment),. Seperti berapa lama waktu yang dibutuhkan masyarakat untuk berada di luar rumah, pendapatan bioskop yang bisa diukur dengan kedatangan masyarakat ke bioskop, dan kedatangan di pertandingan olahraga profesional.
Indikator ketiga, kegiatan ritel dan tempat kerja, seperti jumlah kunjungan di tempat perbelanjaan dan jumlah orang yang bekerja di kantor-kantor.
Bloomberg juga sempat melakukan survei serupa. Per 28 Juli 2021, lembaga tersebut melakukan survei negara terbaik dan terburuk untuk dibuka (The Best and Worst Places to Be as Reopening).
Dari 53 negara, Indonesia menduduki tempat paling bontot, alias di posisi ke 53. Atau dengan kata lain, Indonesia memiliki ketangguhan dalam menghadapi Covid-19 yang buruk. Sehingga, Indonesia masih menjadi negara yang belum bisa “dibuka kembali.”
Mendahului The Economist dan Bloomberg, Nikkei Asia juga melakukan survei terkait pemulihan Covid-19 negara-negara dengan tajuk The Nikkei COvid-19 Recovery Index pada 7 Juli 2021.
Dari 120 negara yang disurvei, Indonesia menduduki peringkat 110 dengan total skor hanya 31,0 dari skor tertinggi 90.
Kategori yang digunakan Nikkei Asia untuk menyusun peringkat ini juga terbagi dalam 3 kelompok. Yakni, manajemen penularan Covid-19 yang mencakup kasus Covid-19 yang dikonfirmasi dibandingkan dengan jumlah kasus puncak, kasus terkonfirmasi per kapita, dan kapasitas testing per kasus.
Lalu, terkait pengadaan vaksin yang mencakup total dosis vaksin yang diberikan per kapita, dosis vaksin baru yang diberikan per kapita, dan jumlah masyarakat yang sudah divaksin setidaknya dosis pertama. Serta, terkait mobilitas yang mencakup mobilitas masyarakat, Oxford Stringency Index, dan aktivitas penerbangan.
Ekonom senior Indef Faisal Basri pun kemudian mewanti-wanti. Indonesia jangan senang dulu dengan capaian yang dicapai pada kuartal II-2021 tersebut. Pasalnya, bila dibandingkan dengan negara-negara sebaya maupun negara-negara di dunia tersebut, Indonesia menjadi negara yang lambat.
“Ini kalau diibaratkan olimpiade, kita tidak dapat medali. Kalau mau dapat medali, bandingkan dengan kecepatan lari negara-negara lain. Kita ini sangat dan paling lambat. Data-data The Economist, Nikkei Asia, dan Bloomberg menunjukkan Indonesia masuk ke golongan terburuk,” ujar Faisal.
Baca Juga: Apindo: Ekspor akan kembali menjadi motor penggerak ekonomi kuartal ketiga 2021
Kepala ekonom Bank Permata Josua Pardede ikut mengomentari. Menurutnya, yang menjadi pemberat dari indikator-indikator yang dijadikan tolak ukur oleh tiga lembaga tersebut adalah tingkat kasus Covid-19 yang tinggi, pengetatan aktivitas ekonomi di Indonesia, dan masih rendahnya angka vaksinasi.
Kebijakan vaksinasi masih menjadi salah satu hambatan dalam normalisasi perekonomian Indonesia karena tingkat vaksin Indonesia masih belum mencapai target harian dari pemerintah pada waktu itu yang sebanyak 1 juta vaksin per hari.
Permasalahan dari vaksin ini salah satunya adalah permasalahan distribusi vaksin, yang sejauh ini mungkin baru dipusatkan di pulau Jawa. Pemerintah perlu mengintensifkan strategi pemberian vaksin ke masyarakat luas, apalagi vaksin bukanlah barang yang mempunyai celah untuk digelapkan, serta tidak mampu disimpan dalam waktu lama.
Baca Juga: Ini saran ekonom BCA agar pertumbuhan ekonomi tak Jawa sentris
Sementara itu, pemerintah juga tengah melakukan penjagaan ketat kegiatan perbelanjaan dengan mengecek bukti vaksinasi pengunjung. Namun, Josua menilai ini tidak akan mendorong masyarakat untuk vaksin, dikarenakan permasalahan vaksin saat ini adalah ketidaksesuaian supply dan demand, dan bukan keinginan untuk melakukan konsumsi dari masyarakat.
Dengan demikian, pemerintah perlu menyusun strategi distribusi vaksin, agar herd immunity dari vaksin dapat tercipta.
Tingginya kasus positif harian Indonesia mencerminkan bahwa pemerintah belum melakukan test and tracing yang baik, sehingga pengetesan cenderung dilakukan hanya untuk orang yang bergejala.
Untuk menurunkan kasus positif ini, pemerintah baiknya bekerjasama dengan pihak laboratorium swasta agar puskesmas sekitar dapat memberikan tes secara gratis dengan cepat. Hal ini juga akan mendorong pemerintah daerah untuk bisa lebih tanggap dan cepat mendeteksi kasus Covid-19, terutama yang kontak erat.
Salah satu problem dari sistem saat ini adalah pemda atau pemerintah pusat tidak mewajibkan seseorang untuk tes, bila mengalami kontak erat. Diharapkan pemerintah mampu mengintensifkan test and tracing agar kasus dapat terdeteksi lebih cepat, dan mencegah penyebaran Covid-19.
Kemudian, adanya pembatasan aktivitas saat ini juga cenderung menjadi hambatan dalam pemulihan ekonomi. Ini terlihat dari indikator-indikator perekonomian Indonesia yang cenderung melambat di bulan Juli, bulan di saat penerapan PPKM darurat.
Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia turun menjadi 40,1 dari sebelumnya 53,5 di bulan Juni, mengindikasikan bahwa aktivitas manufaktur Indonesia mengalami perlambatan. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) juga turun hingga 80,2 dari sebelumnya 107,4 dikarenakan menurunnya pendapatan serta daya beli.
Dari sisi harga pun, terlihat bahwa inflasi inti cenderung melambat di bulan Juli, dengan tercatat sebesar 1,40% yoy dari sebelumnya 1,49% yoy.
Dengan indikator tersebut, Josua bahkan khawatir bahwa perekonomian akan cenderung melambat dari perkiraannya sebelumnya pada kuartal III-2021 dan bahkan pada sepanjang tahun 2021.
Menurut perkiraannya, pertumbuhan ekonomi akan berada di kisaran 2,75% hingga 3,25% pada kuartal III-2021 dan pada keseluruhan tahun 2021 akan berada di kisaran 3% hingga 3,5% yoy.
Baca Juga: LPS: Perekonomian nasional telah menunjukkan sinyal pemulihan
Sementara itu, Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono memnadang, hal yang perlu dilakukan oleh Indonesia adalah dengan meningkatkan vaksinasi.
“Vaksinasi di Indonesia masih rendah dibadningkan engara-negara lain, maka pertumbuhan ekonomi juga tdiak bisa menyamai negara lain, katakanlah dengan Singapura dan China,” ujar Sutrisno.
Belanja pemerintah juga menjadi kunci utama dalam menopang pertumbuhan ekonomi. Apalagi, belanja saat ini juga diprioritaskan pemerintah untuk penanggulangan Covid-19 dan untuk bantalan bagi perekonomian masyarakat terbawah. Namun, yang pasti belanja juga harus tepat sasaran.
Sutrisno pun mengakui, adanya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 4 ini juga menghambat pemulihan ekonomi, terutama di kuartal III-2021. Kekhawatirannya, pertumbuhan ekonomi kuartal III-2021 bisa lebih kecil dari pertumbuhan pada kuartal II-2021 pun bila dibandingkan dengan kuartal III-2020.
Baca Juga: Mendag Lutfi: Momentum pertumbuhan ekonomi Kuartal II-2021 harus dijaga
Apalagi, PDB atas dasar harga konstan kuartal II-2021 dan kuartal III-2021 masih terpaut sedikit. PDB atas dasar harga konstan Indonesia pada kuartal II-2021 Rp 2.772,8 triliun dan pada kuartal III-2020 sebesar Rp 2.720,48 triliun.
“Sehingga, jika diasumsikan pada kuartal III-2021 turun, maka angkanya akan mendekati angka kuartal III-2020 tersebut. Jadi, pasti pertumbuhannya juga kecil kalau secara tahunan,” jelasnya.
Ia pun berharap, pada kuartal IV-2021, pertumbuhan bisa terangkat lagi. Ini dengan asumsi angka penularan bisa diturunkan secara signfikan dan tidak muncul lagi varian virus baru, sehingga pemulihan ekonomi Indonesia bisa makin cepat.
Selain itu, ia juga tetap menyarankan pemerintah mempercepat vaksinasi, dan masyarakat tetap menerapkan protokol kesehatan yang maksimal.
Selanjutnya: Begini prediksi ekonom terkait kondisi neraca pembayaran Indonesia di kuartal II-2021
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News