Reporter: Siti Masitoh | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Era surplus neraca perdagangan Indonesia yang telah berlangsung selama 58 bulan berturut-turut—sejak Mei 2020 hingga Februari 2025—terancam berakhir tahun ini.
Ancaman ini datang dari negosiasi tarif resiprokal yang digulirkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, yang dinilai berpotensi merugikan Indonesia.
Pemerintah Indonesia telah bertemu dengan perwakilan Dagang AS (USTR) beberapa hari lalu. Namun, hasil pembicaraan belum menghasilkan kesepakatan yang konkret.
Baca Juga: Tarif Trump akan Tekan Ekonomi Indonesia, Target Pertumbuhan 5,2% Jadi Berat
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, kedua negara sepakat menyelesaikan perundingan dalam waktu 60 hari ke depan.
Yang mengkhawatirkan, menurut Airlangga, terdapat potensi pemberlakuan tarif impor AS terhadap produk Indonesia hingga 47%.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai pemerintah Indonesia perlu lebih jeli dalam menyusun strategi negosiasi.
Beberapa isu krusial mencakup Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), hambatan non-tarif, dan kebijakan kuota impor.
“Kalau terjadi perubahan signifikan pada aturan TKDN, hambatan non-tarif, serta kuota impor—terutama untuk produk hortikultura—maka Indonesia bisa dibanjiri produk dari negara lain seperti Vietnam, China, India, hingga Pakistan,” ujar Bhima kepada Kontan, Minggu (20/4).
Ia memperkirakan, meskipun dalam dua bulan ke depan surplus masih bisa bertahan, neraca perdagangan berpotensi menyempit bahkan berbalik defisit pada kuartal III atau IV tahun 2025.
Baca Juga: Peningkatan Impor dari AS Berpotensi Mengganggu Neraca Perdagangan Indonesia
Bhima menilai banyak negara akan mencari pasar alternatif, yang membuat produk impor semakin deras masuk ke Tanah Air.
“Jangan sampai kuota impornya kelewat besar dan malah memperparah defisit,” tegasnya.
Bhima menambahkan, negosiasi sebaiknya tidak hanya fokus pada tarif, tetapi juga pada penyederhanaan prosedur dan perbaikan tata kelola di dalam negeri.
Misalnya, jika AS merasa dirugikan oleh birokrasi kepabeanan dan bea cukai di Indonesia, maka seharusnya bisa ditempuh jalan efisiensi dan reformasi administratif.
Sementara itu, Media Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Publik Celios menyebut, jika negosiasi berjalan mulus, surplus perdagangan Indonesia masih bisa berlanjut—meski tidak akan setinggi sebelumnya.
“Ekspor ke AS bisa tetap terjaga, tapi jangan berharap ada kenaikan surplus yang signifikan. Negosiasi ini lebih sebagai penahan penurunan,” kata Media.
Baca Juga: Anindya Bakrie Buka-bukaan Nasib Neraca Dagang RI Imbas Penetapan Tarif Baru AS
Namun, jika negosiasi gagal, potensi relokasi pesanan ekspor ke negara seperti Vietnam, Bangladesh, dan Meksiko sangat terbuka.
Akibatnya, neraca perdagangan Indonesia akan menyusut dan bisa berbalik defisit.
Ia juga mengkritisi langkah Indonesia yang menawarkan peningkatan impor agrikultur dari AS sebagai bagian dari negosiasi.
“Ini bisa menjadi bumerang. Ekspor boleh naik, tapi jika impor naik lebih cepat, surplus tetap menyusut. Apalagi kalau ekspor ke negara lain stagnan, maka posisi kita akan semakin tertekan,” pungkas Media.
Selanjutnya: Tarif Trump akan Tekan Ekonomi Indonesia, Target Pertumbuhan 5,2% Jadi Berat
Menarik Dibaca: Depresi Besar Berakhir, Robert Kiyosaki Yakin Harga Emas dan Bitcoin bakal Segini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News