Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pekan lalu, dua perusahaan diputuskan bersalah oleh Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) karena telat memberikan pemberitahuan akuisi. Mereka yang dihukum adalah PT Darma Henwa Tbk (DEWA), dan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA).
Darma dan Japfa dinyatakan bersalah sebab melanggar UU 5/1999, dan PP 57/2010 yang menyatakan batas waktu pemberitahuan merger adalah 30 hari dari transaksi pengambilalihan.
Komisioner KPPU Chandra Setiawan bilang, sejatinya ketentuan tersebut perlu diubah. Sebab sudah tak kontekstual dengan perkembangan zaman. KPPU hendak menerapkan mekanisme sebelum transaksi terjadi, atawa pre-notification.
"Kalau sekarang di Indonesia masih menganut post-notification. Nah kalau dilihat historinya, khususnya ketentuan post-notification dalam UU 5/1999, karena jika menggunakan pre-notification akan menghambat kerja BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional), yang ketika itu banyak menyelematkan bank yang terkena imbas krisis," kata Chandra kepada Kontan.co.id di Kantor KPPU, Senin (10/9).
Ketentuan pre-notification kata Chandra sebenarnya ideal, sebab KPPU bisa langsung melakukan penilaian apakah akuisisi perusahaan berpotensi memonopoli pasar. Oleh karenanya, dalam mekanisme pre-notification, KPPU bisa langsung menentukan, apakah akuisisi bisa dilakukan atau tidak.
"Kita bisa nilai sejak awal, sebelum akuisisi, apakah akuisisi ini perusahaan bisa dominan sehingga dapat abuse pasar atau tidak. Kalau iya kita rekomendasikan agar akuisisi tidak dilakukan. Atau tidak setidaknya ada soluasi, syarat-syarat untuk akuisisi," papar Chandra.
Meski demikian, Chandra mengakui ini bukan hal mudah. Terutama soal data-data perusahaan yang masih sulit didapatkan KPPU. Soal ini, ia mengaku akan bekerjasama dengan Kemkumham.
Selain soal mekanisme pemberitahuan, Chandra mengungkapkan, KPPU juga he dak mengubah ambang batas (treshold) untuk perusahaan yang perlu melakukan pemberitahuan akuisisi.
Dalam UU 5/1999, dan PP 57/2010, ambang batas ditentukan senilai Rp 2,5 triliun untuk gabungan aset setelah akuisisi dan Rp 5 triliun untuk gabungan penjualan setelah akuisisi.
"Ketika UU 5/1999 lahir, nilai tersebut memang sangat besar, tapi saat ini tidak demikian. Misalnya bisa dinaikan untuk batas aset senilai Rp 10 triliun, dan penjualan senilai Rp 15 triliun," jelasnya.
Peningkatan nilai ambang batas ini, disebutkan Chandara juga sesuai dengan semangat anti mobopoli tadi. Sebab drngan makin tingginya ambang batas memang hanya akan perusahaan-perusahaan besar yang perlu melakukan pemberitahuan akuisisi.
Selain dua ketentuan ini, Chandra juga bilang bahwa agar lebih efektif, ia juga bilang ketentuan soal denda juga perlu diubah. Saat ini, keterlambatan pemberitahuan dikenakan denda Rp 1 miliar perhari keterlambatan, dengan maksimal denda Rp 25 miliar. "Kita maunya hitung-hitunganya bukan nominal, tapi persentase," sambung Chandra.
Sementara terkaitnya rencana ini, khususnya soal ketentuan pre-notification, Wakil Ketua Umum Kadin Raden Pardede bilang hal tersebut turut memberikan kepastian hukum.
"Saya pikir ketentuan KPPU ini tidak akan menggangu iklim investasi, justru dapat memberi kepastian, bahwa jika KPPU sudah setuju pada pranotifikasi maka tidak ada masalah lagi sesudah terjadi transaksi," katanya kepada Kontan.co.id, Selasa (11/9).
Meski demikian, Raden bilang, lantaran penilaian sudah dilakukan sebelum akuisisi, KPPU perlu punya sumberdaya yang mumpuni. "KPPU perlu memperlengkapi diri dengan kemampuan melakukan konsultasi sejak awal. Kapasitas personil KPPU harus memadai untuk memberi jasa tersebut dari awal," lanjutnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News