Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka diwarnai dengan berbagai tantangan fiskal yang belum teratasi.
Kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 menunjukkan tanda-tanda pelemahan, dengan penerimaan yang stagnan, serapan belanja yang lamban, dan pembiayaan utang yang semakin besar.
Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan, realisasi penerimaan negara hingga akhir September 2025 baru mencapai Rp 1.863,3 triliun, atau 65% dari outlook 2025. Realisasi ini turun 7,2% jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.
Turunnya realisasi penerimaan negara ini diperparah oleh penerimaan pajak yang baru mencapai Rp 1.295,3 triliun atau 62,4% terhadap outlook.
Baca Juga: Purbaya Usul ke Prabowo Bentuk Satgas Baru Awasi Belanja APBN dan Program Prioritas
Penerimaan negara ini turun 4,4% jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu. Adapun faktor utama adalah tingginya restitusi pajak pada tahun ini.
Kendati begitu, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara berdalih bahwa meningkatnya restitusi pajak bukanlah sinyal negatif, melainkan bentuk pengembalian hak wajib pajak yang justru membantu likuiditas dunia usaha.
"Kita berharap bahwa dengan uang yang beredar di tengah-tengah perekonomian itu, termasuk yang berasal dari restitusi pajak, itu telah membantu gerak ekonomi kita selama ini," kata Suahasil.
Di sisi lain, pos belanja negara juga menghadapi persoalan klasik, yakni realisasi lamban dan efektivitas rendah.
Dari outlook anggaran sebesar Rp 3.527,5 triliun, realisasi hingga September hanya mencapai Rp 2.234,8 triliun atau sekitar 63,4%.
Belanja pemerintah pusat mencapai Rp 1.589,9 triliun, sementara transfer ke daerah baru terserap Rp 644,9 triliun.
Belanja kementerian dan lembaga relatif lebih cepat terserap, namun belanja non-kementerian yang mencakup subsidi, bantuan sosial, dan kompensasi energi masih tertinggal.
Kondisi ini membuat efek dorong APBN terhadap pertumbuhan ekonomi tidak optimal. Daya beli masyarakat belum pulih kuat, sementara penciptaan lapangan kerja baru juga berjalan lamban.
Belanja yang tidak efektif dan penerimaan yang tersendat membuat kebijakan fiskal kehilangan daya dorongnya di tengah situasi ekonomi yang masih rapuh.
Baca Juga: Belanja Seret, Ekonomi Terancam Anjlok
Dalam situasi seperti itu, pemerintah semakin mengandalkan utang sebagai sumber pembiayaan.
Hingga September 2025, realisasi pembiayaan anggaran mencapai Rp 458 triliun atau sekitar 69,2% dari target Rp662 triliun.
Penarikan utang baru ini melonjak 31,7% dibanding tahun lalu.Kenaikan utang ini menandakan tekanan fiskal yang makin besar.
Walaupun defisit anggaran tercatat masih terkendali di level 1,56% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), meningkatnya ketergantungan pada pembiayaan utang menunjukkan lemahnya kemampuan negara mengandalkan pendapatan sendiri.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan bahwa kondisi fiskal Indonesia saat ini menunjukkan sejumlah tantangan serius, meski rasio utang pemerintah masih berada pada level aman.
Ia menyebut pemerintah berhasil menjaga rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) di kisaran 38–39%, namun ruang fiskal semakin terbatas akibat meningkatnya beban bunga dan kewajiban jatuh tempo utang.
"Hal ini menjadi pekerjaan rumah yang cukup sulit ke depan agar strategi pembiayaan ke depan bisa diarahkan pada utang produktif, bukan sekadar menutup defisit," ujar Ronny kepada Kontan.co.id, Minggu (19/10/2025).
Dari sisi penerimaan negara, menurutnya, kinerja pajak masih cukup baik tetapi mulai melambat. Penyebabnya antara lain pelemahan harga komoditas global, stagnasi ekspor, serta sejumlah program relaksasi pajak yang berdampak pada berkurangnya pendapatan negara.
"Tantangan utama ke depan adalah memperluas basis pajak tanpa menekan konsumsi, serta mempercepat reformasi administrasi perpajakan agar lebih efisien dan berkeadilan," katanya.
Sementara di sisi belanja, Ronny melihat adanya pergeseran prioritas pemerintah ke sektor pertahanan dan proyek strategis nasional (PSN).
Menurutnya, langkah itu sah secara politik, namun perlu diimbangi dengan efektivitas belanja sosial, serta produktivitas anggaran pendidikan dan kesehatan agar tidak menimbulkan trade-off terhadap kesejahteraan dalam jangka panjang.
Secara keseluruhan, Ronny menilai kinerja fiskal pemerintahan saat ini belum lebih baik dibandingkan periode sebelumnya, tetapi juga belum memburuk secara signifikan.
Pemerintah, ujarnya, masih berada dalam fase penyesuaian kebijakan dan penyusunan arah fiskal jangka menengah.
Untuk memperkuat fondasi fiskal ke depan, Ronny menawarkan tiga solusi utama.
Pertama, memperkuat disiplin fiskal dengan memastikan setiap rupiah belanja memiliki dampak ekonomi yang terukur.
Kedua, mendorong perluasan basis pajak melalui digitalisasi dan peningkatan kepatuhan sukarela. Ketiga, menyeimbangkan antara proyek besar dan pembangunan inklusif agar APBN tidak hanya kuat di angka, tetapi juga berdampak ke rakyat.
Chief Economist at PT Bank Syariah Indonesia Tbk Banjaran Surya Indrastomo menilai bahwa tekanan penerimaan negara sepanjang 2025 ini didorong oleh penurunan sejumlah harga komoditas global seperti batubara dan CPO, yang berdmpak pada penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sektor pertambangan serta migas yang tertahan.
Dari sisi belanja negara yang lebih rendah dari tahun sebelumnya menunjukkan belanja pemerintah masih konservatif, sebagian karena proses pencairan proyek infrastruktur dan bantuan sosial (bansos) yang lebih berhati-hati menjelang kuartal IV-2025.
"Namun, kualitas belanja mulai membaik, dengan fokus pada belanja produktif seperti pendidikan, kesehatan, ketahanan pangan, dan program makan bergizi gratis yang dinilai akan memberikan multiplier effect terhadap pertumbuhan ekonomi secara umum," kata Banjaran.
Meski APBN defisit Rp 371,5 triliun (1,56% PDB), keseimbangan primer justru surplus Rp18 triliun. Menurutnya, hal ini berarti defisit yang terjadi murni berasal dari pembayaran bunga utang, bukan karena belanja rutin, dan menunjukkan arah konsolidasi fiskal yang sehat.
"Kondisi menunjukkan postur fiskal saat ini masih relatif disiplin dan efisien, dengan risiko utang yang terkelola lebih baik berkat turunnya yield SBN 10 tahun ke sekitar 6,09%," katanya.
Ke depan, Banjaran melihat sejumlah tantangan untuk mendorong dan mengelola anggaran adalah untuk mempercepat penyerapan belanja di sisa tahun 2025, seiring dengan upaya pemerintah dalam menjaga momentum pertumbuhan serta merealisasikan program-program prioritas untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi ke depan.
Sementara itu, pemerintah akan membentuk Satuan Tugas (Satgas) baru yang bertugas untuk mengawasi penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), utamanya penyerapan program-program prioritas.
Rencana pembentukan Satgas ini disebut sudah diusulkan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto kepada Presiden Prabowo Subianto.
Melalui pembentukan Satgas baru ini, pemerintah nantinya dapat mengevaluasi lebih jauh seluruh proses belanja negara di semua Kementerian/Lembaga (K/L), baik itu untuk pelaksanaan program prioritas Prabowo maupun program-program stimulus ekonomi lainnya.
Maklum, sejumlah program prioritas Prabowo seperti makan bergizi gratis (MBG) hingga Koperasi Desa Merah Putih sejauh ini belum menyerap alokasi dana APBN dengan baik.
Sehingga anggaran yang kurang terserap ini dapat dengan cepat dialokasikan untuk program-program stimulus ekonomi lainnya.
Selanjutnya: Cara Mudah Cek BPNT 2025 Lewat HP: Saldo Bantuan Langsung Cair!
Menarik Dibaca: Ada Minuman Jelly Rasa Baru, Begini Cara Bijak Menikmatnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News