kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.991.000   -25.000   -1,24%
  • USD/IDR 16.870   -10,00   -0,06%
  • IDX 6.634   96,11   1,47%
  • KOMPAS100 956   17,31   1,84%
  • LQ45 745   14,47   1,98%
  • ISSI 210   1,42   0,68%
  • IDX30 387   9,07   2,40%
  • IDXHIDIV20 467   9,05   1,98%
  • IDX80 108   1,86   1,75%
  • IDXV30 114   1,02   0,91%
  • IDXQ30 127   3,44   2,78%

Ketimpangan Bersuara di TikTok, Statistik Pemerintah Dinilai Tak Mewakili Realita


Rabu, 23 April 2025 / 22:38 WIB
Ketimpangan Bersuara di TikTok, Statistik Pemerintah Dinilai Tak Mewakili Realita
ILUSTRASI. BPS menyebutkan Gini Ratio Indonesia per September 2024 sebesar 0,381, hanya naik tipis dari 0,379 pada Maret 2024. Pemerintah menyebut angka ini masih dalam kategori “sedang”. KONTAN/Fransiskus Simbolon


Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Realita ketimpangan sosial di Indonesia dinilai kian jauh dari narasi resmi pemerintah.

Achmad Nur Hidayat, ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, menyoroti bagaimana media sosial, khususnya TikTok, kini menjadi medium alternatif yang menampilkan wajah asli ketimpangan sosial di Indonesia.

“Video-video singkat yang membandingkan suara kipas angin dengan suara hujan, atau garasi motor di ruang tamu, adalah bentuk satire sosial yang justru sangat relevan,” ujar Achmad, Rabu (23/4).

Baca Juga: Ketimpangan yang Kian Melebar

Fenomena ini mencerminkan realitas hidup masyarakat miskin dan kelas menengah bawah, yang berjuang di tengah ketidakadilan struktural yang berlangsung lama.

Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan Gini Ratio Indonesia per September 2024 sebesar 0,381, hanya naik tipis dari 0,379 pada Maret 2024. Pemerintah menyebut angka ini masih dalam kategori “sedang”.

Namun, narasi ini dianggap bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan.

“Data resmi sering kali menampilkan ilusi stabilitas, padahal realitas di masyarakat menunjukkan gejolak yang lebih dalam,” tutur Achmad.

Ketimpangan antarwilayah—baik antara kota dan desa, pusat dan pinggiran—terlihat dalam akses air bersih, listrik, transportasi umum, pendidikan, dan layanan kesehatan.

Bahkan dalam satu kota pun, perbedaan itu bisa terlihat mencolok hanya dalam radius beberapa kilometer.

Riset independen juga menunjukkan pandemi COVID-19 telah memperburuk ketimpangan, dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja dan meningkatnya populasi rentan miskin.

Baca Juga: Luhut Sebut Program MBG Bisa Turunkan Ketimpangan Hingga 3,6%

Mengapa Data Resmi Dinilai Meremehkan Ketimpangan

Achmad menilai ketimpangan di Indonesia sering tereduksi dalam angka statistik karena beberapa alasan metodologis.

Salah satunya, BPS belum mampu menangkap kondisi pekerja sektor informal secara menyeluruh.

“Mayoritas pekerja di Indonesia ada di sektor informal seperti pedagang kecil, buruh lepas, hingga ojek daring. Pendapatan mereka sangat fluktuatif dan tak tercatat secara formal, sehingga sulit dijangkau lewat survei BPS yang kaku,” paparnya.

Selain itu, pendekatan garis kemiskinan yang digunakan pemerintah juga dianggap usang. Ketika komposisi kebutuhan dasar tidak diperbarui sesuai inflasi dan perubahan konsumsi, maka batas kemiskinan yang ditetapkan pun terlalu rendah.

Baca Juga: Ketimpangan Indonesia Makin Melebar, Airlangga: Belanja Kelas Menengah Perlu Didorong

Dampak Ketimpangan Pasca-Pandemi

Meski pemerintah telah mengucurkan stimulus fiskal dan moneter pasca-COVID, sebagian besar insentif justru dinikmati oleh korporasi besar dan proyek infrastruktur berskala nasional.

Sementara itu, kelas menengah—yang tidak miskin cukup untuk mendapat bansos, tapi juga tidak cukup kaya untuk mendapat insentif investasi—justru menjadi korban terberat.

“Banyak yang kehilangan pekerjaan, gaji dipotong, dan akhirnya pindah ke sektor informal. Tapi tak ada perlindungan sosial memadai untuk mereka,” ucap Achmad.

Di saat yang sama, mereka tetap dikenai pajak dan iuran sosial, tanpa ada insentif signifikan. Hal ini membuat daya beli melemah dan peluang mobilitas ekonomi menyusut.

Baca Juga: Tingkat Ketimpangan Indonesia Makin Melebar, Pada September 2024 Mencapai 0,381

Ancaman Terhadap UMKM dan Kelas Menengah

Pelaku UMKM juga tertekan. Meski terdampak pandemi, mereka tetap dikenakan pajak final dan iuran BPJS, tanpa adanya penyesuaian beban fiskal.

Achmad mengungkapkan bahwa penurunan proporsi kelas menengah dari 21,5% pada 2019 menjadi 17,1% pada 2024 seharusnya menjadi alarm keras.

“Jika tidak segera ditangani, ketimpangan akan menciptakan instabilitas sosial dan memperkuat oligarki ekonomi.”

Baca Juga: Ketimpangan Ekonomi dan Pajak Orang Kaya

Solusi: Pajak Kekayaan dan Belanja Negara yang Tepat Sasaran

Achmad mendorong reformasi fiskal yang progresif. Salah satunya adalah menerapkan pajak kekayaan (wealth tax) kepada kelompok superkaya.

Selain itu, program tax amnesty sebaiknya dihentikan karena memberi insentif kepada penghindar pajak.

“Pemerintah sebaiknya fokus pada belanja produktif, seperti program padat karya, pelatihan vokasional, pembangunan infrastruktur desa, dan pemberdayaan UMKM,” ujar Achmad.

Ia menegaskan bahwa ketimpangan sosial tak cukup dilawan dengan optimisme data.

“Narasi resmi harus berpijak pada realita rakyat. TikTok dan media sosial kini menjadi cermin kejujuran publik. Jika pemerintah ingin menjaga stabilitas jangka panjang, maka kebijakan harus lebih berkeadilan, data lebih jujur, dan dipandu oleh semangat bela rakyat,” pungkasnya.

Selanjutnya: Investasi Kuartal I 2025 Tembus Rp 465 Triliun, Serapan Tenaga Kerja Naik

Menarik Dibaca: Geser Dilan 1990, Jumbo Masuk 5 Besar Film Terlaris di Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×