kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.896.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.820   -41,00   -0,24%
  • IDX 6.442   73,17   1,15%
  • KOMPAS100 923   0,44   0,05%
  • LQ45 723   -0,82   -0,11%
  • ISSI 202   3,78   1,91%
  • IDX30 377   -0,84   -0,22%
  • IDXHIDIV20 459   0,93   0,20%
  • IDX80 105   -0,21   -0,20%
  • IDXV30 112   0,60   0,54%
  • IDXQ30 124   -0,13   -0,11%

Kebijakan DHE SDA Menjadi Sorotan AS, Pemerintah Disarankan Pilih Jalan Tengah


Jumat, 11 April 2025 / 17:56 WIB
Kebijakan DHE SDA Menjadi Sorotan AS, Pemerintah Disarankan Pilih Jalan Tengah
ILUSTRASI. Kebijakan implementasi devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA)100% yang wajib disimpan di dalam negeri menjadi sorotan Amerika Serikat. KONTAN/Cheppy A. Muchlis/18/02/2025


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan implementasi devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) sebesar 100% yang wajib disimpan di dalam negeri menjadi sorotan Amerika Serikat.

Kebijakan ini menjadi salah satu alasan Presiden AS Donald Trump menerapkan tarif resiprokal sebesar 32% terhadap Indonesia. Kebijakan DHE SDA Indoensia, disampaikan Trump akan menghambat perdagangan bebas.

Kepala Pusat Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global LPEM FEB UI Mohamad Dian Revindo menilai, pemerintah perlu mengambil jalan tengah, antara memenuhi tuntutan internasional termasuk dari AS, dengan menjaga kebutuhan likuiditas valas di dalam negeri.

“Bagaimanapun, peraturan DHE muncul untuk kepentingan nasional. Tujuannya agar devisa berputar terlebih dahulu di perekonomian domestik sebelum keluar negeri, untuk tertib pendataan aktivitas dan dana hasil ekspor, serta memperkuat cadangan devisa dan stabilitas nilai tukar,” kata Revindo kepada Kontan, Jumat (11/4).

Baca Juga: Penurunan Harga Komoditas Berpotensi Hambat Implementasi Kebijakan DHE SDA

Jika pemerintah mempertimbangkan melakukan relaksasi kebijakan DHE SDA sebagai bagian dari negosiasi dengan AS terkait tarif, Revindo menyarankan agar hal itu dilakukan secara bertahap. Relaksasi bisa dimulai dari sektor-sektor yang paling membutuhkan valuta asing (valas) untuk aktivitas operasional dan ekspornya.

Beberapa sektor yang menurutnya perlu menjadi prioritas relaksasi adalah, pertama, sektor tanpa windfall komoditas. Sektor-sektor seperti karet, kayu, rotan, perikanan, dan lainnya umumnya tidak pernah menikmati windfall akibat lonjakan harga komoditas. Oleh karena itu, mereka cenderung tidak memiliki cadangan valas yang besar dan sangat membutuhkan modal kerja untuk mendukung ekspor.

Kedua, sektor dengan kebutuhan modal kerja tinggi. sektor-sektor yang biaya operasionalnya tinggi lebih dari 60% dari pendapatan akan kesulitan jika DHE-nya ditahan hingga satu tahun. Sektor tersebut mungkin harus meminjam modal kerja dengan bunga tinggi, sementara pada saat yang sama harus memenuhi kewajiban dalam bentuk valas.

Ketiga, sektor dengan perputaran modal lambat. Sektor yang siklus bisnisnya memakan waktu lama, seperti enam bulan atau lebih, akan lebih terbebani oleh kebijakan DHE. Mereka butuh waktu lebih lama untuk menyisihkan laba guna menutup biaya operasional, dibandingkan sektor yang perputaran dananya bulanan.

Keempat, sektor dengan kebutuhan bahan baku impor. Baik untuk pasar domestik maupun ekspor, sektor-sektor yang masih membutuhkan valas untuk membeli bahan baku impor juga perlu menjadi prioritas relaksasi. Pasalnya, mereka harus mencari valas kembali untuk mengimpor input produksi.

Baca Juga: Ekonom: Penambahan Instrumen DHE SDA dalam Valas Masih Sulit Tarik Modal Asing

Meski begitu, Revindo menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan antara tuntutan AS dan kepentingan nasional. Selain memilih sektor berdasarkan kriteria diatas, besaran relaksasinya bisa bertahap juga, misalnya kembali ke aturan awal dalam PP Nomor 36 Tahun 2023, kewajiban penyimpanan DHE sebesar 30% selama minimal tiga bulan.

Lebih lanjut, ia mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan pendekatan yang lebih market friendly untuk mendorong eksportir menyimpan DHE di dalam negeri secara sukarela.

Misalnya, memperdalam pasar keuangan, khususnya yang berdenominasi mata uang asing, dan menciptakan pasar modal yang sehat serta minim intervensi, termasuk dalam hal keamanan.

“Selain itu, memperbaiki iklim investasi juga penting agar eksportir terdorong untuk menanamkan kembali keuntungannya dan memperluas fasilitas produksi di Indonesia,” pungkas Revindo.

Selanjutnya: Mandiri Utama Finance Catat Perbaikan NPF Jadi 1,41% per Maret 2025

Menarik Dibaca: iPhone 16 Juga Tersedia di Shopee Mall, Ada Promo Cashback lo

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×