Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Dampak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi pada Juni lalu, akhirnya terasa juga di bulan Juli 2013. Sebab, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi di Juli 2013 melonjak menjadi 3,29%. Padahal, pada bulan Juni, ketika BBM bersubsidi dinaikkan inflasi hanya sebesar 1,03% saja.
Dengan inflasi di bulan Juli sebesar itu, membuat inflasi year on year menjadi 8,61%, sementara sepanjang tahun 2013 ini inflasi sudah mencapai 6,75%. Padahal, target inflasi yang dipatok Pemerintah untuk tahun ini hingga Desember nanti hanya 7,2% saja.
Inflasi di bulan Juli 2013 juga lebih tinggi dibandingkan ketika Pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi tahun 2008 lalu. Di bulan Juni tahun 2008 lalu, inflasi hanya mencapai 2,46%.
Kepala BPS Suryamin menjelaskan, dampak langsung atas kenaikan harga BBM bersubsidi memang sebagian besar terjadi di bulan Juli. Selain karena naiknya tarif angkutan dalam kota maupun antar kota, inflasi yang melonjak di bulan Juli ini juga diakibatkan oleh naiknya sejumlah harga komoditas pangan.
"Kenaikan harga BBM bersubsidi maupun non subsidi memiliki andil terhadap inflasi sebesar 0,77% terhadap inflasi," ujar Suryamin. Kenaikan itu membuat tarif angkutan dalam kota dan antar kota mengalami kenaikan.
Selain itu, yang memberikan andil terbesar adalah kenaikan harga bawang merah yaitu sebesar 0,48%. Suryamin juga bilang, dibandingkan bulan Juni kenaikan harga bawang merah ini sudah mencapai 62,28%, yang diakibatkan minimnya pasokan. Di sisi lain, permintaan bawang merah meningkat.
Pemerintah sulit menahan inflasi
Sementara itu, menurut Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Sasmito Hadi Wibowo, dengan kondisi inflasi sebesar itu, Pemerintah akan sulit menahan laju inflasi hingga akhir tahun seperti yang ditargetkan semula di level 7,2%.
Menurutnya, jika hanya di bawah 8% masih bisa dicapai. Tetapi, dengan catatan Pemerintah harus bekerja keras menjaga kenaikan harga pangan dengan menambah pasokan.
Bila tidak ada perbaikan yang signifikan dibandingkan kebijakan yang dilakukan saat itu, Sasmito mengaku pesimistis Pemerintah mampu menahan inflasi di bawah 8%.
Untuk itu, pemerintah harus lebih berhati-hati dalam mengelola kebijakan harga pangan. Ekonom dari Universitas Gajah Mada (UGM) A. Prasetiantono menilai, dengan inflasi sebesar ini akan membuat suku bunga Bank Indonesia (BI) atau BI rate yang baru dinaikkan bulan Juli menjadi 6,5% sudah tidak relevan lagi.
Dia menilai, BI rate harus kembali dinaikkan untuk mengimbangi inflasi sebesar itu. "BI harus dinaikkan lagi, setidaknya menjadi 7% di pekan depan," ujar Prasetiono, Kamis (1/8).
Sebab, jika tidak dikhawatirkan terjadi penarikan dana besar-besaran dari dalam negeri. Dengan begitu peluang rupiah akan terdepresiasi lebih dalam bisa lebih besar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News