kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini Kekurangan Ditjen Pajak Kemenkeu dalam Memanfaatkan Data AEoI


Minggu, 13 Maret 2022 / 17:04 WIB
 Ini Kekurangan Ditjen Pajak Kemenkeu dalam Memanfaatkan Data AEoI
ILUSTRASI. Menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati. Ini Kekurangan Ditjen Pajak Kemenkeu dalam Memanfaatkan Data AEoI


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melakukan pembaharuan terkait daftar yurisdiksi partisipan dan yuridiksi tujuan pelaporan untuk pertukaran informasi secara otomatis atau Automatic Exchange of Information (AEoI).

Merujuk pada lampiran PENG-1/PJ/2022, tercatat ada 113 yurisdiksi yang tercantum dalam daftar yurisdiksi partisipan dan 95 yurisdiksi dalam daftar yurisdiksi tujuan pelaporan.

Seperti dilansir dari laman indonesiabaik.id, AeoI merupakan sistem pertukaran informasi keuangan secara otomatis dilakukan antar negara yang mengimplementasikannya, termasuk Indonesia.

Baca Juga: Sri Mulyani Happy Jika Ada yang Pamer Harta di Medsos, Ini Alasannya

Dengan implementasi AEoI, otoritas pajak Indonesia akan mampu melacak wajib pajak nakal yang kerap memanfaatkan fasilitas tax haven untuk menghindari kewajiban pajaknya.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Reasearch Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengungkapkan kekurangan DJP dalam memanfaatkan data AEoI.

Menurutnya data hasil AEoI yang diperoleh oleh DJP juga hanya mencakup data keuangan dan tidak mencakup data properti serta investasi mata uang kripto. Selain itu, otoritas pajak masih kesulitan mencocokkan data hasil AEoI karena beberapa faktor.

Pertama, data tersebut tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) ataupun Nomor Induk Kependudukan (NIK). Kedua, data tersebut tidak menginformasikan alamat pemilik rekening di luar negeri.

Baca Juga: Membuka Akses Data Harta Lewat PPS

“Pada akhirnya, otoritas pajak belum mampu mengoptimalkan data AeoI tahun 2018 dan 2019 sehingga tidak dapat mengejar para pelaku offshore tax evasion,” ujar Prianto kepada Kontan.co.id, Minggu (13/3).

Di sisi lain, peluncuran PPS atau program tax amnesty II pada Januari-Juni 2022 menjadi bukti konkret bahwa otoritas pajak Indonesia mengetahui perilaku offshore tax evaders, tetapi tidak mampu menegakkan peraturan (law enforcement) kepada mereka dengan cara enforced tax compliance.

Baca Juga: Tarif Tax Amnesty Jilid 2 Terkecil 6%, Terbesar 18%, Wajib Pajak Banyak yang Ikut

“Pemerintah hanya menempuh Offshore Voluntary Disclosure Program (OVDP) yang diterjemahkan menjadi PPS,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×