Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah setiap tahun selalu menganggarkan sejumlah belanja yang wajib dialokasikan dengan persentase tertentu.
Alokasi belanja ini dikenal dengan mandatory spending, yaitu belanja atau pengeluaran negara yang besarannya sudah diatur oleh Undang-Undang (UU).
Baca Juga: Kemenkeu: TKDD 2021 berfokus pada pemulihan ekonomi
"Tujuan mandatory spending ini adalah untuk mengurangi masalah ketimpangan sosial dan ekonomi daerah. Selain itu, mandatory spending merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam menjalankan perintah UU," sebagaimana dikutip dalam laporan Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (DJA Kemenkeu), Senin (6/7).
Adapun jenis mandatory spending di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 tahun 2020 terbagi menjadi lima.
Baca Juga: Sah! Banggar DPR loloskan Perppu penanganan corona Jokowi
Pertama, alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN atau APBD. Alokasi anggaran ini dianggarkan sebesar Rp 547,8 triliun sesuai amanat UUD 1945 pasal 31 ayat (4).
Kedua, alokasi anggaran Dana Alokasi Umum (DAU) minimal sebesar 26% dari penerimaan dalam negeri neto atau setara dengan Rp 384,4 triliun. Ketentuan ini sesuai dengan aturan dalam UU Nomor 33 tahun 2004.
Ketiga, alokasi anggaran Dana Bagi Hasil (DBH) perhitungan alokasi anggaran ini di dalam APBN-Perpres 72/2020 sebesar Rp 86,4 triliun.
Keempat, alokasi anggaran kesehatan sebesar 5% dari APBN atau setara dengan Rp 212,3 triliun yang mana ketentuannya sesuai dengan ketentuan UU Nomor 36 tahun 2009.
Baca Juga: Sri Mulyani sebut Perppu bisa menjadi bantalan menanggulangi dampak wabah corona
Kelima, alokasi anggaran untuk otonomi khusus masing-masing sebesar 2% untuk Provinsi Aceh dan Papua dari DAU sesuai dengan UU Otonomi Khusus. Alokasi anggaran yang ada di dalam Perpres 72/2020 adalah sebesar Rp 20 triliun.
"Mandatory spending memberikan kepastian besaran jumlah dalam penganggaran beberapa belanja negara. Namun, terlalu banyak belanja negara yang bersifat mandatory mengakibatkan kapasitas APBN dan ruang fiskal menjadi sempit dan tidak fleksibel," tandas DJA.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News