Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Target penerimaan pajak yang cenderung meningkat setiap tahun tak diimbangi dengan pertumbuhan signifikan jumlah wajib pajak baru.
Kondisi ini memunculkan kritik bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih mengandalkan basis pajak lama dalam mengejar target penerimaan yang ambisius.
Pada 2025 misalnya, target penerimaan pajak ditetapkan sebesar Rp 2.189,3 triliun atau meningkat 13,9% dari outlook 2024.
Kenaikan ini sejalan dengan tren beberapa tahun terakhir. Asal tahu saja, target penerimaan pajak terus naik sekitar 10% setiap tahun.
Namun, di sisi lain, jumlah wajib pajak baru yang berhasil dijaring lewat ekstensifikasi cenderung stagnan, bahkan menurun jika dibandingkan dengan periode sebelum pandemi.
Baca Juga: Jumlah Wajib Pajak Baru Hasil Ekstensifikasi Terus Menyusut Pasca Pandemi
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), pada tahun 2017, DJP berhasil menambahkan sekitar 699.655 wajib pajak (WP) baru. Jumlah ini melonjak pada 2018 dan 2019 menjadi lebih dari 1.044.815 dan 1.261.070 wajib pajak baru.
Namun sejak 2020, angka tersebut menyusut. Hanya sekitar 112.519 wajib pajak baru yang ditambahkan pada 2020, dan terus menurun menjadi sekitar 30.927 pada 2021 dan 34.599 pada 2022.
Sementara pada tahun 2023 tercatat hanya 73.631 wajib pajak baru, serta tahun 2024 turun menjadi 72.640, masih jauh dari capaian sebelum pandemi.
Di sisi lain, pertumbuhan jumlah wajib pajak terdaftar secara total memang tetap naik setiap tahun.
Dari sekitar 39 juta pada 2017, jumlahnya bertambah menjadi 42 juta pada 2018, kemudian naik lagi menjadi 45,9 juta pada 2019, dan melonjak menjadi 46,3 juta pada 2020.
Tren pertumbuhan ini berlanjut pada 2021 dengan 66,3 juta wajib pajak, 70,2 juta pada 2022, dan mencapai 73,9 juta pada 2023.
Namun demikian, lonjakan angka tersebut belum tentu mencerminkan perluasan basis pajak yang efektif, sebab belum tentu seluruh WP tersebut aktif dan berkontribusi pada penerimaan.
Masih Fokus ke Wajib Pajak Terdaftar
Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia Raden Agus Suparman menilai DJP hingga saat ini masih terlalu fokus pada pengawasan terhadap WP yang sudah terdaftar dan potensial, atau yang diistilahkan sebagai "berburu di kebun binatang".
Istilah ini merujuk pada kebijakan DJP yang lebih mengedepankan pengawasan terhadap WP yang sudah ada, daripada menjangkau potensi perpajakan baru di lapangan.
Raden mengungkapkan, sebenarnya, di awal masa jabatan Suryo Utomo sebagai Dirjen Pajak, terdapat gagasan yang bagus mengenai pemisahan tugas antara Account Representative (AR) kewilayahan dan AR strategis.
AR kewilayahan, yang bertugas di seksi pengawasan 2 sampai 6, idealnya melakukan canvassing wilayah untuk mengenali potensi pajak dari usaha-usaha yang belum tersentuh. Namun pada praktiknya, fungsi tersebut belum dijalankan secara maksimal.
Baca Juga: Bantah Penerimaan Pajak Anjlok 27%, Wamenkeu Anggito: Tidak Seburuk Itu, Masih Tumbuh
Kata Raden, pola pengawasan yang dilakukan saat ini tidak jauh berbeda dari pendekatan lama yang berfokus pada WP besar yang sudah terdaftar.
Padahal, potensi penerimaan negara bisa meningkat signifikan jika petugas pajak lebih proaktif menyisir lapangan seperti pada era 1980-an, ketika masih ada petugas dinas luar (DL) yang sebagian besar waktunya dihabiskan untuk memantau langsung kegiatan ekonomi masyarakat.
"Mungkin dia hanya bekerja di kantor satu atau dua jam sehari. Selebihnya, dia harus keliling dan membuat laporan pengawasan," ujar Raden kepada Kontan.co.id, Rabu (14/5).
Sekarang, kata Raden, baik AR kewilayahan mapun AR strategis sama-sama duduk di kantor. Tidak ada bedanya, kecuali dari rasio pengawasan WP.
Ia menyebutkan, AR strategis yang di seksi pengawasan 1 sama dengan AR di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya dan Large Tax Office (LTO), yakni sama-sama mengejar target penerimaan.
"Sekarang baik AR kewilayahan maupun AR strategis sama-sama mengejar target penerimaan pajak yang ditugaskan kepada mereka. Karena itu, benar jika disebut bahwa DJP fokus berburu di kebun binatang," kata Raden.
Oleh karena itu, mantan pegawai DJP ini juga bercerita, banyak klien-nya yang berasal dari pedagang pasar tradisional yang tidak mengetahui cara melapor dan menghitung pajak.
Menurutnya, tugas edukasi dan penyuluhan perpajakan masih sangat lemah, terutama untuk pelaku usaha tradisional yang belum tersentuh teknologi.
Raden juga menyoroti pengawasan terhadap aktivitas toko online yang menurutnya bisa dikenali secara fisik, bukan hanya berbasis data digital. Dengan cara tersebut, DJP bisa memberikan penjelasan dan edukasi langsung terkait kewajiban perpajakan terkait usahanya.
"Seharusnya petugas pajak dapat mengawasi aktivitas toko-toko online bukan hanya menggunakan aplikasi, tetapi langsung diawasi secara fisik ke tempat toko online tersebut mengirim barang," jelasnya.
Menurutnya, pendekatan pengawasan berbasis data seperti yang dilakukan DJP saat ini juga memiliki kelemahan dari sisi keberlanjutan. WP yang tidak patuh sering kali dipaksa membayar kewajiban beberapa tahun sekaligus, sehingga memberatkan dan membuat mereka kaget.
"Coba jika DJP melakukannya setiap tahun, pada tahun berjalan. Misal kegiatan petugas pajak tahun 2025 untuk tahun pajak 2025. Sehingga laporan pajak tahun 2025 sudah mendapatkan penyuluhan dari petugas. Maka wajib pajak tidak terlalu berat untuk bayar pajak," imbuhnya.
Baca Juga: Ditjen Pajak Berhasil Menjaring 72.640 Wajib Pajak Baru Berkat Ekstensifikasi di 2024
Akarnya pada Struktur Ekonomi
Di sisi lain, Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, rendahnya rasio penerimaan pajak Indonesia saat ini tidak semata-mata disebabkan rendahnya jumlah wajib pajak orang pribadi (WP OP) yang masuk dalam sistem.
Menurutnya, akar persoalan terletak pada struktur ekonomi nasional dan lemahnya kualitas data yang dimiliki pemerintah.
Pasalnya, jika merujuk pada data OECD Revenue Statistics 2024, gap kinerja penerimaan pajak orang pribadi Indonesia dengan rata-rata negara ASEAN (Filipina, Kamboja, Vietnam, Malaysia, dan Singapura) hanya 0,38% terhadap PDB. Ini bahkan lebih rendah dibandingkan gap pungutan seperti PPN dan PPh Badan yang masing-masing mencapai 0,48% terhadap PDB.
"Artinya, meski banyak WP yang belum masuk ke dalam sistem pajak namun bukan penyebab utama dari tax ratio kita yang di bawah 15%," kata Fajry.
Ia menilai, tantangan terbesar justru datang dari struktur ekonomi domestik. Jika dibandingkan dengan negara setara, jumlah penduduk berpendapatan rendah di Indonesia jauh lebih besar.
Menggunakan garis kemiskinan global sebesar US$ 6,8 per hari, Indonesia memiliki populasi miskin paling tinggi dibandingkan Filipina, Vietnam, Thailand, Malaysia, apalagi Singapura.
Hal ini tercermin dari rata-rata upah buruh per Februari 2025 yang hanya sebesar Rp 3,09 juta, masih berada di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Bahkan, kata Fajry, rumah tangga dengan pengeluaran Rp 20 juta per bulan sudah termasuk ke dalam 1% tertinggi dalam distribusi pengeluaran nasional.
Ia juga menekankan bahwa salah satu hambatan terbesar dalam meningkatkan basis pajak adalah buruknya kualitas data.
"Salah satu masalah utama negara ini adalah data. Terkadang antar instansi pun datanya berbeda. Permasalahan data ini kemudian berdampak pada penerimaan pajak, khususnya ekstensifikasi. Kita akui, sebagian besar aktivitas ekonomi kita tidak terdata dengan baik," jelasnya.
Baca Juga: Penerimaan Pajak Diramal Kembali Shortfall Pada 2025
Menurut Fajry, upaya memperluas basis pajak melalui ekstensifikasi tetap penting, khususnya untuk WP OP. Namun, hal ini harus dilakukan secara tepat sasaran.
Ia menekankan, ekstensifikasi hanya akan efektif bila didukung oleh data yang andal dan akurat, baik dari pihak ketiga maupun data lapangan. Tanpa itu, sulit melakukan ekstensifikasi yang berdampak signifikan.
"Ekstensifikasi WP OP masih esensial untuk dilakukan namun harus tepat sasaran, mereka yang kiranya akan menambah penerimaan secara signifikan perlu menjadi sasaran ekstensifikasi," terang Fajry.
Selanjutnya: Presiden Direktur Sampoerna Dinobatkan sebagai CEO of The Year
Menarik Dibaca: 5 Manfaat Pakai Tinted Sunscreen untuk Kulit, Praktis dan Serbaguna!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News