CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.513.000   -30.000   -1,94%
  • USD/IDR 15.740   98,00   0,62%
  • IDX 7.244   -140,01   -1,90%
  • KOMPAS100 1.117   -21,26   -1,87%
  • LQ45 887   -14,43   -1,60%
  • ISSI 220   -4,35   -1,94%
  • IDX30 457   -6,42   -1,38%
  • IDXHIDIV20 554   -6,30   -1,12%
  • IDX80 128   -2,00   -1,53%
  • IDXV30 139   -0,11   -0,08%
  • IDXQ30 153   -1,86   -1,20%

Ekonom Ingatkan Pemerintah Soal Beban Utang yang Makin Meningkat


Selasa, 24 September 2024 / 20:18 WIB
Ekonom Ingatkan Pemerintah Soal Beban Utang yang Makin Meningkat
ILUSTRASI. Kemenkeu mencatat realisasi pembiayaan utang atau penarikan utang mencapai Rp 347,6 triliun hingga akhir Agustus 2024.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi pembiayaan utang atau penarikan utang baru mencapai Rp 347,6 triliun hingga akhir Agustus 2024.

Realisasi ini setara 53,6% dari target penarikan utang tahun ini yang sebesar Rp 648,1 triliun.

Ekonom Bright Institute Awalil Rizky mengatakan bahwa realisasi penarikan utang pada periode tersebut sudah memperhitungkan antara penarikan utang baru dan pelunasan pokok utang lama, baik jenis Surat Berharga Negara (SBN) maupun pinjaman.

Baca Juga: Ekonom Memperkirakan Defisit APBN 2024 Lebih Rendah dari Outlook Pemerintah

Awalil menyebut, pemerintah memang merencanakan pembiayaan utang neto pada tahun 2024 berjalan sebesar Rp 533 triliun. Oleh karena itu, pembiayaan utang tersebut masih akan bertambah selama empat bulan terakhir.

Ia menambahkan, sebenarnya pokok utang yang harus dibayarkan oleh pemerintah hampir sebesar Rp 800 triliun pada tahun 2024. Sedangkan defisit diperkirakan pada kisaran Rp 600 triliun.

"Dengan demikian, kebutuhan berutang bisa mencapai Rp 1.400 triliun, bahkan lebih karena ada pengeluaran pembiayaan," ujar Awalil kepada Kontan.co.id, Selasa (24/9).

Awalil mengatakan, pada tahun 2024 ini pemerintah merencanakan akan memakai satu sumber pemasukan yang tidak selalu dipakai. 

Menurutnya, nilainya cukup besar, yakni diambil dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp 150 triliun.

"Dengan demikian, jika tanpa SAL, maka pembiayaan utang akan mencapai lebih dari Rp 700 triliun," katanya.

Awalil menyebut, kondisi gali lubang yang lebih besar untuk menutup lubang ini akan terus berlangsung dan memberatkan di masa mendatang. 

Apalagi, pemakaian SAL tidak dimungkinkan secara besar-besaran setiap tahun sehingga pembiayaan utang pada tahun 2025 direncanakan sebesar Rp 775 triliun.

Ia memperkirakan, ke depan kebutuhan berutang yang besar meningkatkan risiko pembiayaan dalam pengelolaan fiskal. Nah, jika pemerintah tidak memperoleh utang baru secara mencukupi, maka hal tersebut akan menjadi masalah keuangan negara.

Baca Juga: Hingga Agustus 2024, Pemerintah Tarik Utang Baru Rp 347,6 Triliun

"Beban utang yaitu pembayaran pokok utang dan bunga utang pun makin memberatkan. Rasionya atas pendapatan telah mencapai 40%. DSR ini umumnya direkomendasikan mesti di bawah 25%," jelasnya.

Sementara itu, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengatakan,  Indonesia memang sudah memasuki era jebakan utang sehingga pemerintahan tidak bisa jalan tanpa adanya tambahan utang.

"Bahasa sederhananya kita sedang menjalani era gali lubang tutup lubang. Lubang yang kita gali pun semakin lama semakin besar, karena kita tidak hanya berutang untuk menutup defisit anggaran, tetapi juga berutang untuk membayar bunga dan membayar utang yang jatuh tempo," ujar Wijayanto. 

Apalagi, utang yang sifatnya terselubung (hidden debt) berupa utang BUMN non perbankan, berbagai jaminan pemerintah dan utang intergovernmental berupa defisit berbagai program seperti pensiun dan jaminan kesehatan akan membuat situasi ini semakin rumit. 

Wijayanto menambahkan, penarikan utang sebesar Rp 347,6 triliun tersebut merupakan konsekuensi situasi yang sedang dialami Indonesia. 

Ia memperkirakan pada tahun 2024 ini pemerintah akan menerbitkan utang sekitar Rp 1.000 triliun, dimana sekitar 60 persennya merupakan utang baru. Ini didasarkan pada asumsi defisit sebesar 2,29% terhadap Produk Domestik Bruto(PDB), keseimbangan primer mendekati nol serta utang jatuh tempo sebesar Rp 379 triliun.

"Jadi dalam bulan-bulan mendatang, pemerintah akan disibukkan dengan penerbitan berbagai surat utang, kita berharap tren bunga rendah terus terjadi sehingga cost of fund yang perlu ditanggung pemerintah tidak terlalu berat," katanya. 

Menurut Wijayanto, pada tahun 2025 dan 2026 menjadi penuh tantangan, mengingat utang jatuh tempo mencapai masing-masing sekitar Rp 800 triliun dengan bunga sekitar Rp 540 triliun dan Rp 600 triliun. Sementara itu defisit APBN juga diperkirakan akan tetap tinggi.

"Tim ekonomi pemerintahan Prabowo perlu hati-hati dan sangat jeli," imbuh Wijayanto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×