Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan World Economic Outlook April 2025 dari 5,1% menjadi 4,7% mengejutkan sebagian kalangan.
Namun, bagi sebagian ekonom dalam negeri, kabar ini justru telah lama diperkirakan.
Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, menyatakan bahwa koreksi IMF ini bukan hal baru. Ia mengingatkan bahwa pihaknya sudah memperkirakan risiko penurunan pertumbuhan hingga ke angka 4,2% sejak awal April lalu, seiring dengan melemahnya respons kebijakan pemerintah terhadap gejolak global yang terus berkembang.
"Dengan kata lain, penurunan proyeksi IMF hanya menegaskan kekhawatiran yang telah lebih dahulu kami suarakan bahwa ramuan kebijakan ekonomi Indonesia saat ini tidak cukup meyakinkan untuk membawa ekonomi nasional tumbuh di atas 5%," Ujar Achmad dalam keterangannya, Rabu (23/4).
Ia menilai bahwa proyeksi optimis yang diusung pemerintah dalam APBN 2025, yakni sebesar 5,2%, terlalu bergantung pada narasi dan asumsi yang tidak berpijak pada realitas ekonomi global dan domestik saat ini.
Menurutnya, kondisi global yang semakin tidak bersahabat, terutama akibat kebijakan tarif agresif dari Presiden AS Donald Trump, membuat banyak proyeksi ekonomi yang ada sekadar menjadi ilusi optimisme belaka.
Baca Juga: IMF Revisi Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Negara Berpotensi Turun Rp 6,3 T
IMF sendiri mengidentifikasi tekanan global sebagai pemicu utama revisi proyeksi ini. Ketegangan perdagangan internasional, kebijakan tarif baru dari Amerika Serikat, serta perlambatan ekonomi di negara-negara mitra dagang utama menjadi faktor dominan.
Namun, Achmad menilai bahwa masalah sebenarnya lebih dalam dari sekadar faktor eksternal. Indonesia, katanya, membawa beban internal yang berat sebagai akibat dari kebijakan ekonomi yang kurang adaptif.
Ia menyebut stagnasi produktivitas, sektor manufaktur yang tidak kompetitif, serta transisi demografis menuju penurunan proporsional penduduk usia produktif
"IMF menyiarakan bahwa Indonesia tidak hanya menghadapi tantangan dari luar, tetapi jua membawa beban internal yang berat akibat kebijakan ekonomi masa lalu," katanya.
Kritik juga diarahkan pada strategi pembangunan yang selama ini terlalu bertumpu pada proyek infrastruktur besar, namun tidak disertai reformasi kelembagaan atau peningkatan kapasitas produksi nasional.
Akibatnya, meski utang pemerintah meningkat tajam, kontribusi proyek-proyek tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi tetap minim. Beban fiskal membengkak tanpa menopang basis ekonomi yang kokoh.
Sementara itu, Achmad menyoroti pula sikap pemerintah dan Bank Indonesia yang dinilai terlalu percaya diri.
Meski indikator ekonomi menunjukkan tekanan yang signifikan, narasi yang disampaikan kepada publik tetap optimis. Padahal, rupiah terus melemah menembus Rp 17.000 per dolar AS, pasar saham terkoreksi, dan arus investasi asing menunjukkan tanda-tanda stagnasi.
Di sisi lain, sektor riil semakin kesulitan mengakses pembiayaan karena tingginya suku bunga, yang membuat bank lebih memilih menempatkan dananya di surat utang negara.
Menurut Achmad, kebijakan ekonomi saat ini tidak berpihak pada kelas menengah yang menjadi tulang punggung konsumsi domestik.
Ia menilai pembukaan impor yang agresif dan kurang terkontrol justru memperlemah industri lokal dan memperburuk daya saing nasional.
Dalam kondisi seperti ini, masyarakat kelas menengah justru semakin tertekan oleh stagnasi pendapatan, tingginya biaya hidup, dan minimnya perlindungan sosial yang efektif.
Ia juga menanggapi pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut APBN akan menjadi jangkar utama dalam menghadapi tekanan global. Menurutnya, langkah ini tidak akan cukup jika tidak disertai inovasi pembiayaan dan reformasi struktural.
Ketika pembiayaan global menjadi semakin mahal dan kepercayaan terhadap negara berkembang menurun, mengandalkan utang luar negeri justru memperburuk posisi fiskal.
Spread obligasi Indonesia yang melebar dan depresiasi rupiah hanya menambah tekanan terhadap beban utang dan pembiayaan pembangunan.
"Dengan nilai tukar yang terus melemah, pembiayaan utang luar negeri menjadi semakin tidak efisien," tegasnya.
Baca Juga: IMF Pangkas Prospek Ekonomi Global, Ketegangan Perdagangan Masih Berlanjut
Ketika sumber pembiayaan eksternal menyusut, pilihan yang tersisa bagi pemerintah adalah meningkatkan pajak atau memangkas belanja publik. Menurutnya, keduanya berisiko memperlambat pemulihan ekonomi.
Oleh karena itu, tanpa inovasi pembiayaan yang berkelanjutan dan kredibel, ruang gerak fiskal akan makin sempit.
Peningkatan belanja sosial memang bisa menahan laju penurunan konsumsi jangka pendek. Namun, jika kebijakan ini tidak dibarengi dengan reformasi struktural dan restrukturisasi sektor ekspor, maka stimulus hanya menjadi penahan sesaat.
"Ketika stimulus berakhir, ekonomi akan kembali terseret tekanan global. Terlebih lagi, penyaluran bansos yang tidak tepat sasaran masih menjadi masalah akut," katanya.
Achmad menegaskan bahwa Indonesia butuh strategi ekonomi baru yang lebih berani dan adaptif dalam menghadapi tekanan ekonomi global yang semakin meningkat.
Pertama, perlindungan terhadap industri dalam negeri harus ditingkatkan secara cerdas, bukan proteksionis buta. Menurutnya, pemerintah perlu menyasar substitusi impor untuk produk-produk strategis dan menciptakan ekosistem inovasi berbasis teknologi domestik.
Kedua, pendekatan fiskal harus lebih progresif dan selektif. Alih-alih memperluas subsidi konvensional, pemerintah harus mendorong belanja berbasis produktivitas seperti pendidikan vokasi, memperkuat UMKM, dan insentif bagi sektor manufaktur bernilai tambah tinggi.
Ketiga, pemerintah harus berani mengambil langkah pro-kelas menengah. Pasalnya, kelas ini adalah motor konsumsi dan stabilitas ekonomi.
"Dengan memberikan stimulus pajak penghasilan, pembiayaan pendidikan murah, dan akses perumahan terjangkau, konsumsi domestik bisa kembali digenjot secara berkelanjutan," terang Achmad.
Keempat, pemerintah harus mulai melakukan restrukturisasi utang jangka panjang dan mengevaluasi ulang proyek-proyek infrastruktur yang tidak produktif.
Fokus harus dialihkan pada proyek berbasis kebutuhan rakyat, seperti transportasi publik, sanitasi, dan energi terbarukan.
Kelima, Indonesia perlu mendesain ulang insentif investasi dengan target yang jelas, seperti investasi yang menciptakan lapangan kerja berkualitas dan transfer teknologi.
"Pengawasan terhadap investasi yang hanya bersifat spekulatif harus diperketat," katanya.
Di sisi lain, dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks, Indonesia tidak bisa lagi bergantung pada strategi lama.
Koreksi IMF harus dijadikan alarm serius bahwa kebijakan ekonomi kita perlu direkonstruksi dengan fondasi baru yakni berbasis data, adaptif terhadap perubahan global, dan berpihak pada kesejahteraan rakyat, terutama kelas menengah yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi nasional.
"Ekonomi tidak cukup dibangun dengan narasi dan janji, tetapi harus ditopang oleh kebijakan yang nyata, terukur, dan mampu merespons dinamika zaman," katanya.
Ia menegaskan bahwa koreksi terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 menurun ke bawah bukan semata akibat eksternal, tetapi juga disebabkan lemahnya kemampuan pemerintah dalam melakukan adaptasi kebijakan ekonomi yang strategis dan cepat.
Kebijakan tarif Trump adalah pemicu, namun tidak serta-merta menjadi penyebab tunggal.
Respon fiskal yang konvensional, subsidi yang luas tapi tidak tepat, serta ketergantungan pada instrumen APBN tanpa penguatan basis ekonomi riil menjadi faktor internal yang memperparah situasi.
Achmad menyebut, jika pemerintah tidak segera mengubah pendekatan dan mempercepat adaptasi kebijakan dengan kombinasi insentif industri, diversifikasi ekspor, dan proteksi kelompok rentan yang tepat sasaran, maka risiko krisis ekonomi yang lebih luas tidak bisa dihindari.
"Tahun 2025 bisa menjadi momen pembelajaran pahit tentang bagaimana kegagalan beradaptasi bisa menggerus pertumbuhan dan memperdalam ketimpangan," pungkasnya.
Baca Juga: Merespons Prediksi IMF, Kemenkeu: Ekonomi Dunia Sedang Tidak Baik-Baik Saja
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News