Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Arief Anshory menyoroti urgensi pemerintah Indonesia untuk segera merevisi garis kemiskinan nasional.
Hal ini menyusul pengumuman Bank Dunia pada Jumat (6/6), yang memperbarui garis kemiskinan internasional berdasarkan survei harga global terbaru melalui International Comparison Program (ICP).
Arief menjelaskan bahwa revisi dilakukan karena adanya perubahan harga global dan pembaruan data PPP (Purchasing Power Parity) dari tahun 2017 ke 2021.
Berdasarkan PPP 2021, Bank Dunia menetapkan tiga kategori garis kemiskinan baru, yakni kemiskinan ekstrem sebesar US$ 3 dolar per hari per orang (setara Rp 546.000 per bulan), lower-middle income country sebesar US$ 4,2 atau setara Rp 765.000 per bulan dan upper-middle income country sebesar US$ 8,3 dolar AS setara Rp 1,5 juta per bulan).
Baca Juga: Data Bank Dunia: Penduduk Miskin Indonesia Capai 194,4 Juta Orang
Dengan garis baru tersebut, persentase penduduk miskin di Indonesia mengalami lonjakan signifikan, yakni kemiskinan ekstrem naik dari 1,26% menjadi 5,44%, lower middle income menjadi 19,9%, dan upper middle income melonjak ke 68%.
Menurut Arief, kenaikan ini bukan karena kondisi ekonomi memburuk, melainkan karena standar internasional mengalami pembaruan.
Bahkan, ia menyebut revisi yang dilakukan Bank Dunia berasal dari perubahan garis kemiskinan di negara-negara termiskin.
Dari 23 negara termiskin yang menjadi acuan Bank Dunia, 70% di antaranya telah menaikkan standar garis kemiskinannya.
"Ini praktek yang wajar. Karena ketika negara semakin meningkat kesejahteraannya, maka pola konsumsi akan berubah sehingga standar kemiskinannya harus berubah," ujar Arief kepada Kontan.co.id, Senin (9/6).
Arief mengingatkan bahwa garis kemiskinan nasional Indonesia yang saat ini sebesar Rp 590 ribu/bulan hampir setara dengan standar kemiskinan ekstrem internasional (Rp 546.000 per bulan).
Padahal, Indonesia berstatus negara berpenghasilan menengah atas dengan pendapatan per kapita sekitar US$ 4.800, jauh di atas negara-negara miskin yang rata-rata US$ 1.100.
Terkait tingginya tingkat kemiskinan berdasarkan standar upper-middle income, Arief menduga penyebab utamanya adalah tingginya ketimpangan pendapatan di Indonesia.
Baca Juga: Ubah Metode, Bank Dunia Sebut Jumlah Penduduk Miskin RI Capai 68,91% dari Populasi
Ia membandingkan Indonesia dengan Filipina dan Vietnam yang memiliki pendapatan per kapita serupa, namun mencatat tingkat kemiskinan upper-middle income yang jauh lebih rendah.
"Jadi memang ketimpangan kita tinggi. Ini menurut saya harus menjadi introspeksi," jelasnya.
Menurut Arief, standar garis kemiskinan yang terlalu rendah bisa menyesatkan kebijakan. Ia menilai, jika angka kemiskinan terlihat kecil, pemerintah bisa keliru dalam menyusun kebijakan industri, ketenagakerjaan, dan perlindungan sosial.
Arief menekankan pentingnya momentum saat ini yakni di tahun pertama pemerintahan untuk melakukan revisi garis kemiskinan nasional. Jika dilewatkan, peluang bisa tertunda hingga lima tahun ke depan karena kekhawatiran politisasi.
Ia menyarankan agar pemerintah mengumumkan dua versi data kemiskinan selama masa transisi agar publik tidak bingung.
Arief berharap garis kemiskinan nasional yang baru bisa ditetapkan minimal setara dengan standar lower-middle income, yakni sekitar Rp 750.000 per bulan.
Baca Juga: 2 Perbedaan Investasi Orang Kaya dan Orang Miskin, Ini Penjelasan Robert Kiyosaki
Jika ini dilakukan, maka tingkat kemiskinan nasional bisa mencerminkan realitas lebih akurat, yaitu sekitar 20% dari populasi.
"Jadi kita menargetkan sebelum tahun ini (revisi garis kemiskinan). Atau kalau enggak minimal bulan depan atau dua bulan lagi," pungkasnya.
Selanjutnya: Daftar Pemain Drakor Mercy For None & Link Nonton, Drakor Nomor 1 di Netflix Saat Ini
Menarik Dibaca: Promo Alfamart Beauty Fair 1-15 Juni, Micellar Water-Acne Patch Diskon sampai 45%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News