Reporter: Grace Olivia | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Posisi cadangan devisa (cadev) Indonesia kembali meningkat pada Oktober lalu, yaitu mencapai US$ 126,7 miliar.
Meski begitu, peningkatan cadev tersebut lebih didominasi oleh penarikan utang pemerintah dalam bentuk surat utang valas atau global bond. Akhir bulan lalu, pemerintah menerbitkan global bond berdenominasi dua mata uang asing, yaitu dolar Amerika Serikat (USD) sebesar US$ 1 miliar dan euro sebesar € 1 miliar.
Selain itu, Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyebut, penguatan cadev juga didukung oleh aliran modal portofolio sepanjang bulan lalu.
“Inflow pada pasar obligasi sepanjang Oktober mencapai US$ 2 miliar meski di pasar saham ada outflow sekitar US$ 270 juta. BI juga menyerap valas melalui lelang surat berharga BI sebesar US$ 998 juta,” tutur Josua, Kamis (7/11).
Baca Juga: Core: Kurs rupiah stabil, posisi cadev aman sepanjang tahun ini
Kendati sentimen positif global saat ini mendukung arus modal masuk ke Indonesia dan menyokong cadev, Josua menilai pemerintah tetap perlu waspada. Cadev yang merupakan buffer atau bantalan perekonomian saat turbulensi global terjadi, menurutnya, membutuhkan sokongan yang lebih kuat dan stabil selain dari arus masuk modal asing dan penerbitan global bond.
Dalam jangka pendek, Josua mengatakan, pemerintah sebaiknya benar-benar serius mendorong pengembangan destinasi-destinasi pariwisata yang menjadi prioritas. Pasalnya, pariwisata merupakan sumber devisa besar yang paling potensial digarap tanpa menyebabkan risiko pelebaran current account deficit (CAD).
“Sementara untuk mendorong investasi lain, manufaktur misalnya, ada risiko meningkatkan lagi laju impor yang kemudian menyebabkan CAD melebar. Pelebaran CAD berbahaya karena akan mendepresiasi rupiah dan kemudian menggerus cadev,” tutur Josua.
Josua menyebut pemerintah mesti berkaca pada pengalaman pelebaran CAD pada tahun 2018 yang membuat rupiah amat tertekan. Tahun lalu secara keseluruhan tahun ( full year) CAD mencapai US$ 31 miliar atau setara dengan 2,98% dari PDB.
Baca Juga: Rupiah kembali menguat di bawah Rp 14.000 per dolar AS
Imbasnya, cadangan devisa pun rentan. Tambah lagi, sentimen negatif dari eksternal seperti krisis Argentina dan Turki semakin memperburuk kepercayaan pelaku pasar saat itu.
Meski begitu, upaya pemerintah memperkuat industri dan investasi manufaktur harus tetap berlanjut untuk menekan impor dan mendorong ekspor pada jangka menengah panjang. Dengan begitu, ke depan peningkatan pertumbuhan ekonomi tak lagi mesti berhadapan dengan risiko pelebaran CAD seperti yang selama ini terjadi.
Tahun depan, pemerintah ingin terus mendorong investasi untuk meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi. Josua memperingatkan agar pemerintah mampu menjaga agar upaya ini tak berdampak pada melonjaknya impor yang kemudian bakal memperlebar lagi CAD.
“Salah satunya melalui kebijakan fiskal yang dapat memberi insentif pada investasi berkonten lokal yang tinggi misalnya,” tutur Josua.
Baca Juga: Tensi perang dagang AS-China mereda, IHSG diprediksi menguat
Di sisa dua bulan menuju akhir tahun ini, Josua memproyeksi posisi cadev tetap stabil bahkan berpotensi meningkat. Perkiraannya cadev akan berada pada posisi US$ 125 miliar sampai US$ 128 miliar di akhir 2019 di tengah prospek kurs rupiah yang kuat dan CAD yang terkendali pada kisaran 2,5%-3% dari PDB sesuai proyeksi BI.
“Meski peningkatan cadev juga tidak mungkin terlalu tajam karena pemerintah kelihatannya tidak akan menerbitkan global bond lagi. Tanda-tanda prefunding untuk anggaran tahun depan juga belum terlihat,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News