Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID–JAKARTA. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyoroti ketimpangan dalam skema perdagangan luar negeri Indonesia yang dinilai merugikan sektor jasa nasional.
Saat ini, ekspor Indonesia umumnya menggunakan skema FOB (Free on Board), sementara impor dilakukan dengan skema CIF (Cost, Insurance and Freight). Menurutnya, praktik ini membuat Indonesia kehilangan nilai tambah dari jasa logistik dan asuransi yang justru dinikmati negara lain.
"Kita punya pekerjaan rumah (PR), yaitu bagaimana kita mengubah terms of trade kita dari ekspor FOB, impor CIF. Nah ini sama-sama sektor jasa kita serahkan kepada pihak lain (negara asing)," ungkap Airlangga dalam peluncuran ALFI Convex 2025, Rabu (2/7).
Baca Juga: Ekspor China ke ASEAN Bulan Mei Cetak Rekor! Impor Indonesia Melonjak 21%
Ketimpangan ini, lanjut Airlangga, turut menyebabkan perbedaan signifikan dalam data perdagangan antara Indonesia dan mitra dagangnya seperti Singapura, China, maupun Amerika Serikat. Hal ini disebabkan oleh trade cost yang tidak dihitung seragam, terutama oleh negara-negara seperti AS yang tidak mencatat jasa logistik dalam neraca perdagangan mereka.
“Kalau jasa dihitung, sebetulnya neraca perdagangan mereka dengan kita jauh lebih positif bagi mereka,” ungkapnya.
Skema CIF-CIF Dinilai Lebih Adil dan Menguntungkan
Airlangga mendorong agar Indonesia mulai mengubah pendekatan perdagangan menjadi skema CIF untuk ekspor maupun impor. Dengan begitu, pelaku usaha nasional dapat mengambil peran dalam jasa pengangkutan dan asuransi, sekaligus memperkuat ekosistem logistik domestik.
"Kalau semua bisa direncanakan secara matang, itu kan semuanya kita locked down contract (kontrak jangka panjang), tidak swap. Nah tentu kita harus melihat bagaimana kita bisa turunkan dari segi logistic cost. Karena kalau dari 14% turun ke 10% saja itu nilainya sudah luar biasa," jelas Airlangga.
Baca Juga: BPS Akan Lebih Fokus Paparkan Data Ekspor-Impor Secara Kumulatif
Menurut Airlangga, pergeseran skema ini bisa berdampak besar pada peningkatan kontribusi sektor jasa terhadap PDB (Produk Domestik Bruto), sekaligus menciptakan lapangan kerja dan memperkuat daya saing nasional dalam perdagangan global.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa perubahan skema ini hanya bisa berhasil jika didukung oleh efisiensi logistik nasional. Saat ini, biaya logistik Indonesia masih berada di angka 14,29% terhadap PDB, dan ditargetkan bisa ditekan ke 10% pada 2030.
Menurut Airlangga, kalau biaya logistik bisa ditekan dari 14% ke 10%, maka Indonesia bisa efisiensi 40%, dan bisa mengompensasi tekanan tarif dagang atau temporary charges yang dikenakan negara lain.
"Kalau 4 dibagi 10 kan 40%. Itu bisa mengkompensasi perang tarifnya di charge dalam tanda petik temporary charging-nya di 10%. Jadi sebetulnya kita bisa lebih kompetitif juga kalau dibagi cost kita, kita bisa tekan," ungkap Airlangga.
Transformasi logistik nasional, tambahnya, sudah menjadi bagian dari program prioritas Presiden Prabowo dan perlu didorong secara terintegrasi melalui digitalisasi, penguatan SDM, dan deregulasi.
Selanjutnya: Begini Penjelasan BEI Soal Gelaran IPO yang Sepi di Semester I-2025
Menarik Dibaca: Khusus Rabu! Promo Pizza Hut Online Exclusive Deals, QU4RTZA Pizza Cuma Rp 89.000
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News