Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Komisi XI DPR RI menargetkan pembahasan Revisi Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) dapat segara dituntaskan dalam masa sidang terdekat.
Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun mengatakan, percepatan pembahasan dilakukan karena terdapat sejumlah hal mendesak yang perlu segera diselesaikan, khususnya yang berkaitan dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam konteks pembahasan anggaran tahun 2026.
"Pokoknya yang berkaitan dengan LPS, dalam pembahasan anggaran 2026, akan bersama kita. Kalau begitu kan kita mau bahas cepat juga. Karena pembahasan anggaran LPS kan paling lambat di bulan ini," ujar Misbakhun kepada awak media di Gedung DPR RI, Senin (19/5).
Baca Juga: Revisi UU P2SK Singgung soal Tugas BI, Begini kata Gubernur BI
Revisi UU P2SK sendiri merupakan kelanjutan dari reformasi sektor keuangan yang mencakup dua aspek besar, yakni penegakan hukum dan proses anggaran.
Namun hingga saat ini, Komisi XI masih menunggu masukan dari aparat penegak hukum untuk merampungkan beberapa substansi penting dalam rancangan beleid tersebut.
"Lanjutannya, kita masih menunggu proses selanjutan. Karena itu kan dua, penegakan hukum dan proses anggaran. Dan itu lagi kita selesaikan. Kita menunggu konsep dari penegak hukum," imbuh Misbakhun.
Terkait dengan isu adanya pasal-pasal yang mengatur peran Bank Indonesia (BI) yang ikut direvisi dalam RUU ini, Misbakhun menegaskan bahwa hal tersebut masih dalam tahap pembahasan dan belum difinalisasi.
"Itu kan masih kita bicarakan, kan belum kita selesaikan," terangnya.
Sebagai informasi, revisi UU P2SK ini berkaitan dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam amar putusan Nomor 85/PUU-XXII/2024.
Adapun mahkamah dalam amar putusan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian dan menyatakan Pasal 86 ayat (4) UU P2SK inkonstituasional secara bersyarat.
Baca Juga: Pembahasan Revisi UU P2SK Melebar, Singgung Mandat Baru Bank Indonesia
Pasal 86 ayat (4) tersebut menyatakan bahwa ketua Dewan Komisioner LPS wajib menyampaikan RAT kepada Menkeu untuk mendapat persetujuan. Begitu juga dengan ayat (6) dan ayat (7) yang memuat frasa terkait dengan persetujuan Menkeu.
Saat pembacaan amar putusan, Ketua MK Suhartoyo mengatakan bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengingat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai persetujuan DPR.
Alasan hukum yang mendasari Mahkamah untuk mengabulkan permohonan tersebut tidak lain adalah pentingnya independensi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) serta bebasnya LPS dari campur tangan institusi lain, dalam hal ini adalah Menteri Keuangan yang notabene merupakan institusi pemerintahan.
Sekalipun didalilkan perlunya keterlibatan Menteri Keuangan dalam penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) untuk kegiatan operasional LPS, namun tidak tepat apabila keterlibatan Menteri Keuangan tersebut berupa persetujuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 86 ayat (4), ayat 6, dan ayat (7) huruf a dalam Pasal 7 angka 57 UU P2SK.
Selanjutnya: Rupiah Ditutup Menguat Tipis ke Rp 16.434 Per Dolar AS pada Hari Ini 17 Mei 2025
Menarik Dibaca: Allianz Life dan HSBC Indonesia Luncurkan Smartwealth Rupiah Multi Asset Income Fund
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News