Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) atas Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) berpotensi semakin melebar. Ini bisa mempengaruhi kebijakan Bank Indonesia (BI) dalam menetapkan suku bunga acuannya (BI rate).
Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan CAD akan melebar sampai 1,5% dari PDB pada tahun 2025. Defisit ini meningkat dibandingkan 0,6% pada periode tahun 2024. Proyeksi tersebut lebih buruk dari perkiraan BI yang di kisaran 0,5%-1,3% di tahun ini.
Ekonom sekaligus Guru Besar UI Telisa Aulia Falianty menyampaikan, semakin melebarnya CAD tahun ini, kemungkinan BI menurunkan suku bunga acuannya akan semakin kecil.
"Kita berharap sama dengan estimasi BI bahwa CAD kita tidak akan terlalu lebar itu akan terealisasi. Karena CAD yang makin lebar implikasinya bisa makin memperlemah rupiah," ungkap Telisa kepada Kontan, Kamis (24/4).
Baca Juga: Defisit Neraca Transaksi Berjalan Diperkirakan Melebar Tahun 2025 Ini
Lebih lanjut, Telisa menyebut, salah satu fakor yang paling besar mempengaruhi memburuknya CAD adalah makin melebarnya defisit neraca dagang, neraca jasa, dan neraca pendapatan primer.
Per Maret 2025, neraca perdagangan Indonesia mencatatkan surplus sebesar US$ 4,33 miliar. Angka ini lebih tinggi dibandingkan surplus Februari 2025 yang sebesar US$ 3,10 miliar.
Sementara itu, Global Market Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto mengatakan, ada alasan di balik proyeksi IMF terhadap CAD Indonesia tahun ini. Mengingat dampak terburuk dari tarif resiprokal Amerika Serikat ditambah pengenaan tarif lain akan memaksa Indonesia untuk memenuhi negosiasi yang diinginkan AS dalam menutup defisit neraca dagangnya.
Alhasil, Indonesia akan membuka keran impor yang lebih besar dari AS yang saat ini porsinya 5,36% pada periode Januari-Maret 2025. Belum lagi hubungan dagang dengan China yang menjadi penyumbang terbesar defisit perdagangan dengan porsi impor mencapai 33,84% dari total impor Indonesia.
"Itu merupakan refleksi dampak terburuk yang didapat Indonesia kalau tarif resiprokal berdampak negatif ke performa ekonomi Indonesia terutama sisi ekspor/impor, bisa jadi impornya melonjak terutama barang AS, dan impor dari china yang membanjir ke Indonesia," kata Myrdal kepada Kontan, Kamis (24/4).
Myrdal memperkirakan, CAD Indonesia tahun ini masih akan sejalan dengan perkiraan BI di kisaran 1,1% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Di sisi lain, terkait dengan kebijakan BI dalam menurunkan suku bunga acuannya dinilai masih sulit dilakukan. Pasalnya saat ini pergerakan rupiah masih belum terlalu kuat terhadap mata uang dollar Amerika.
"Kalau penurunan suku bunga BI ini tergantung juga dengan kekuatan nilai tukar, kalau rupiah sudah menguat ke 16.000-16.200 bisa jadi BI pertimbangkan turunkan bunga. Apalagi kalau The Fed juga menurunkan bunga," ujar Myrdal.
Baca Juga: Fitch Ratings Proyeksi Defisit Transaksi Berjalan RI akan Melebar Jadi 1,3% dari PDB
Sementara itu, Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan, kondisi rupiah saat ini masih tergolong stabil meskipun tekanan global dan juga tensi perang dagang akibat tarif resiprokal dan keluarnya aliran dana asing berpotensi melemahkan rupiah.
Ia menyebut, BI telah melakukan komitmennya dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah melalui intervensi di pasar, dan berhasil menurunkan nilai tukar rupiah turun di bawah Rp 17.000 menjadi ke level Rp 16.865 per dolar AS.
Perry juga meyakini ke depan nilai tukar rupiah diperkirakan akan tetap stabil. Didukung komitmen BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, Imbal hasil yang menarik, inflasi yang rendah. Serta, prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap baik.
"Bank Indonesia berkomitmen tinggi terus memperkuat respon kebijakan untuk menjaga stabilisasi nilai tukar rupiah," ungkap Perry.
Selanjutnya: Harga Kelapa Melonjak! Kemendag: Wacana Ekspor Tunggu Pembahasan Antar Kementerian
Menarik Dibaca: BD & RDK Dharmais Sediakan Skrining Kanker Serviks Metode Pengambilan Sampel Mandiri
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News