Reporter: Dendi Siswanto, Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah dan Badan Anggaran (Banggar) DPR menyepakati pelebaran defisit Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 menjadi Rp 689,1 triliun, setara 2,68% produk domestik bruto (PDB).
Angka ini lebih tinggi dibandingkan usulan awal sebesar Rp 638,8 triliun atau 2,48% PDB.
Kenaikan defisit terjadi seiring penambahan target belanja negara sebesar Rp 56,2 triliun, sehingga total belanja negara pada 2026 mencapai Rp 3.842,7 triliun.
Baca Juga: Defisit RAPBN 2026 Melebar, Ekonom Peringatkan Risiko Beban Utang
Belanja pemerintah pusat naik Rp 13,2 triliun menjadi Rp 3.149,7 triliun. Sementara transfer ke daerah (TKD) meningkat signifikan Rp 43 triliun menjadi Rp 693 triliun.
Ketua Banggar DPR Said Abdullah mengatakan, tambahan anggaran TKD merupakan respons pemerintah atas aspirasi komisi-komisi di DPR.
“Kenaikan Rp 43 triliun ini sesuai permintaan, dari dasarnya Rp 650 triliun naik menjadi Rp 693 triliun,” ujar Said saat membacakan kesepakatan postur RAPBN 2026, Kamis (18/9).
Adapun belanja kementerian/lembaga (K/L) disepakati naik Rp 12,3 triliun menjadi Rp 1.510,5 triliun. Sedangkan belanja non-K/L bertambah Rp 900 miliar menjadi Rp 1.639,2 triliun.
Di sisi pendapatan, pemerintah dan Banggar sepakat menaikkan target sebesar Rp 5,9 triliun menjadi Rp 3.153,6 triliun.
Baca Juga: Panja Komisi XI DPR Sepakati Defisit RAPBN 2026 di Kisaran 2,48%-2,53% dari PDB
Kenaikan itu akan ditopang oleh penerimaan kepabeanan dan cukai yang dipatok Rp 336 triliun atau naik Rp 1,7 triliun, serta PNBP yang ditargetkan Rp 455,2 triliun, naik Rp 4,2 triliun dari target awal.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan pelebaran defisit masih aman karena berada di bawah batas 3% PDB.
“Kenaikan defisit diperlukan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Jadi tidak usah takut, kami tetap hati-hati,” kata Purbaya.
Meski begitu, kalangan ekonom memberi catatan kritis. Ekonom CORE Yusuf Rendy Manilet menilai defisit berpotensi semakin melebar jika penerimaan negara rapuh, mengingat proyeksi pendapatan bertumpu pada asumsi makro yang optimistis, termasuk target pertumbuhan ekonomi 5,4% pada 2026.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M. Rizal Taufikurahman, menilai langkah pemerintah dan DPR mencerminkan relaksasi disiplin fiskal.
Baca Juga: Panja DPR: Defisit RAPBN 2026 dalam Kisaran 2,48%-2,53% dari PDB
Namun, ia mengingatkan ruang fiskal semakin sempit karena lebih dari 35% belanja APBN terkunci pada pos wajib, seperti bunga utang, subsidi energi, gaji pegawai, dan TKD.
Rizal juga menyoroti kualitas penerimaan negara yang belum membaik. Dengan rasio pajak stagnan di kisaran 10%–11% PDB, pelebaran defisit tanpa reformasi pajak progresif akan meningkatkan ketergantungan pada utang.
“Rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan bisa menembus level berisiko dan mempersempit ruang fiskal ke depan,” jelasnya.
Sementara itu, ekonom Bright Institute Yanuar Rizky menilai strategi pemerintah kontradiktif. Menurutnya, Menkeu kerap menyebut penerbitan surat berharga negara (SBN) melemahkan kredit perbankan, tetapi pemerintah tetap membutuhkan standby buyer untuk menutup utang baru.
“Harus jelas mau pro-growth atau stabilitas. Kalau semua ingin dicapai di tengah volatilitas pasar yang tinggi, itu tidak rasional,” tegas Yanuar.
Selanjutnya: Ganjil Genap Jakarta 19 September 2025: Cek Jadwal dan Rute, Hindari Denda!
Menarik Dibaca: Promo JSM Superindo 19-21 September 2025, Beli 1 Gratis 1 Nugget-Sabun Cair
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News